Salah Tompo*: Memahami Praktik dan Pemaknaan Dangdut Koplo dalam Menggoyang Kemapanan

Oleh Irfan R. Darajat**

Beberapa waktu yang lalu, pentolan grup musik beraliran punk, Superman Is Dead, JRX (baca: Jerink) melayangkan sentilan kepada penyanyi dangdut yang namanya tengah di puncak ketenaran, Via Vallen. Pernyataan JRX kemudian memicu perdebatan di sekitar mereka dan semesta musik yang mereka usung. Simak pernyataan JRX selengkapnya:

Mungkin banyak pertanyaan. Kenapa baru sekarang saya sentil VV? Simpel. Karena album SID yg baru saja rilis ini penuh akan lagu potensial yg sangat mungkin dijadikan versi dangdut/koplo nya. Dan jika kami diamkan, bisa jadi VV, atau penyanyi semacam dia akan melakukannya lagi; memperkaya diri memakai karya orang lain sekaligus membunuh ruh dari karya tersebut. OK 2013, lagu Sunset di Tanah Anarki kami ikhlaskan, mindset kami saat itu cukup naif; anggap saja membantu struggling musician. Sampai dia bikin DVD segala, dikomersilkan, rapopo.

Nah, kekesalan ini muncul setelah melihat transformasi seorang VV. Di mana posisinya saat ini, VV harusnya sudah belajar jadi manusia, jangan bisanya hanya mengambil saja. Selama ini nyanyi SDTA ribuan kali, lirik lagu kami ga ada artinya bagi dia? Setelah sukses, apa yg kamu bisa lakukan utk mengapresiasi karya yg membawamu ke tempat yg lebih baik? Dengan followers berjuta, minimal berkontribusilah utk gerakan melawan lupa, atau pelurusan sejarah 65, perjuangan Kendeng, dll, ada banyak sekali hal yg bisa VV lakukan tanpa harus keluar duit.

SID sudah pasti akan bangga jika VV, atau siapapun yg hidup dari karya SID, manfaatkan fame nya utk cinta yg lebih besar. Bukan hanya tuk perkaya diri dan keluarganya. Ini yg membuat saya marah. Selama ini nyanyi SDTA apa ya yg ada di dalam kepalanya? Lagu ini pesannya besar, sungguh humanis, pun disampaikan dengan lirik dan video klip yg sangat literal. Wajar saya merasa mereka dengan sadar merendahkan substansi lagu ini atas nama popularitas semata. Itu sangat manipulatif dan menjijikkan.

Saya ga akan nuntut nominal apapun dari VV atau penyanyi lain yg pernah/masih hidup atas karya SID. Hanya berharap kalian lebih bijak ketika berurusan dengan musik kami. SID bukan cuma band. Kami lebih besar dari hiburan. Uang, fame, rupa, bukanlah segalanya, ada hal yg lebih tinggi bernama INTEGRITAS.

Ada beberapa pokok persoalan yang didudukkan oleh JRX ketika menegur (kalau tidak bisa disebut menghardik) Via Vallen. Pertama, pernyataan ini merupakan sebuah ‘pengantar’ dari album teranyar SID yang diklaim memiliki potensi besar untuk “dikoplokan”, dan menurut pengalaman JRX hal itu sudah pernah terjadi pada lagu “Sunset di Tanah Anarki” (selanjutnya disebut SDTA). Dari persoalan pertama ini juga dapat ditarik ke persoalan yang lebih mendasar lagi, yaitu soal keuntungan dari perputaran lagu yang dinyanyikan kembali.

Kedua, tuntutan JRX agar Via Vallen ikut menyuarakan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan kemanusiaan, ketidakadilan sosial, dan persoalan-persoalan yang dianggap lebih besar dari dirinya sendiri. Via dituntut untuk bersikap sebagaimana JRX; memperjuangkan isu-isu tersebut melalui medium seni musik dan terlibat dalam aktivisme di ranah praktis. JRX pun mempertanyakan apa makna lagu SDTA bagi Via saat dia menyanyikan lagu tersebut di panggung.

Ketiga, melalui klaim keagungan makna yang terdapat dalam lagu SDTA, JRX menyatakan bahwa apa yang dilakukan Via tidak lain sebagai proses pemelorotan substansi atau pesan dari lagu; semata sebagai sebuah upaya Via untuk memperkaya dan mencari popularitas diri.

Sebetulnya, dalam paragraf ketiga dan keempat pernyataan JRX telah membatalkan poin paragraf pertama, yang menyoal komersialisasi lagunya. JRX mengaku tidak hendak menuntut ganti rugi uang, popularitas dan lain sebagainya. JRX mengubah titik tekannya pada integritas seorang seniman dalam memperlakukan karya seni musik milik orang lain.

Jamu Pegel Mlarat : Koplo sebagai Siasat Bertahan Hidup

Untuk dapat memahami apa Via Vallen lakukan terhadap lagu SDTA, kiranya kita perlu memahami dulu bagaimana semesta dangdut koplo bekerja. Dengan begitu kita dapat menemukan jawaban: Apakah betul Via Vallen berutang kepada SDTA, seperti yang diklaim oleh JRX?

Orkes dangdut koplo sangat lekat dengan panggung hiburan, yang biasanya menjadi bagian dari sebuah acara besar. Misalnya, hajatan, pernikahan, khitanan, haul, dan lain-lain. Beragamnya acara yang diiringi orkes dangdut koplo turut memengaruhi pemilihan daftar lagu yang akan dibawakan.

Sebagai perbandingan, kita dapat merujuk pada grup musik “Top 40” di kafe-kafe yang menyuguhkan hiburan live music. Biasanya grup musik tersebut menampilkan lagu-lagu terkini, yang sedang hits atau pernah menjadi hits di telinga para pengunjung. Daftar lagu yang dibawakan disesuaikan dengan karakter dan kategorisasi pengunjung.

Kehadiran band kafe ini—begitu biasa mereka disebut—harus dimaknai sebagai penyedia jasa hiburan musik. Mereka tidak bekerja sebagaimana grup-grup musik yang merekam lagu-lagu karangan mereka sendiri, menjualnya, lalu memainkannya di suatu perhelatan musik. Sebagai penyedia jasa hiburan, mereka terlatih untuk memainkan lagu-lagu yang populer di masyarakat. Mereka pun harus selalu siap memenuhi permintaan untuk membawakan lagu yang penonton kehendaki. Meskipun, misalnya, lagu tersebut tidak ada dalam daftar lagu yang mereka persiapkan dari awal. Skema inilah yang sebenarnya terjadi dalam orkes dangdut koplo. Mereka adalah penyedia jasa hiburan musik dengan spesialisasi musik dangdut, lebih spesifik lagi dangdut koplo. Dan mereka menerima permintaan penonton untuk membawakan lagu apapun, tentu saja dengan aransemen dangdut yang menjadi kekhasan mereka.

Dengan mendudukkan orkes dangdut koplo dalam kerangka kerja yang demikian, maka pola produksi lagu, lirik, serta format kelompok yang ada pada orkes dangdut koplo dapat dipahami. Tugas mereka hanya memainkan lagu populer dengan baik; menghibur penonton, bukan mempresentasikan karyanya.

Secara umum, lagu-lagu yang dibawakan oleh orkes dangdut koplo meliputi beberapa kategori. Misalnya, lagu daerah atau lagu dangdut yang telah dikenal lebih dulu, lagu Jawa, lagu pop Indonesia, dan lagu-lagu yang khusus diciptakan untuk penyanyi dangdut koplo.

Pertama, lagu dangdut yang telah dikenal lebih dahulu. Lagu-lagu ini hampir pasti dimainkan dan ditempatkan sebagai “bank” atau persediaan awal untuk dibawakan dalam setiap pertunjukan orkes melayu dangdut koplo. Lagu ini berasal dari lagu yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, dan penyanyi-penyanyi dangdut lainnya. Skema seperti ini lazim dilakukan oleh kelompok orkes panggung, modus produksi yang tidak jauh berbeda dengan grup musik penyedia jasa hiburan di acara pernikahan, atau band di kafe-kafe.

Kedua, lagu pop Indonesia. Pada kasus ini, lagu-lagu pop Indonesia yang dibawakan kembali oleh orkes dangdut koplo memiliki keterkaitan dengan peredaran VCD bajakan. Hal ini juga yang kemudian menghadirkan irama dangdut koplo ke panggung yang lebih besar. Pada tahun 2003 grup musik Radja mengeluarkan album kedua yang meledak di pasaran. Pada tahun-tahun selanjutnya, grup musik seperti ST 12, Kangen Band, dan Wali menyusul. Irama yang dimainkan oleh grup musik tersebut seringkali disebut “pop melayu”. Tentu saja kategori ini tidak dapat serta-merta disamakan dengan kemunculan pop melayu pada tahun 1970an atau 1980an. Akan tetapi mereka memang masih menggunakan unsur yang serupa, terutama cengkok bernyanyi yang mendayu-dayu, nyaris menyerupai musik dangdut.

Dari sederet grup musik tersebut, adalah Kangen Band yang meraih sukses lewat ekspos media televisi, cara yang kurang lebih sama dengan yang Inul dapatkan. Mereka berasal dari Lampung dan ‘menjelajah’ ke berbagai daerah mulanya dari kepingan VCD bajakan. Singkatnya, mereka mengalami proses meditisasi yang sama dengan apa yang dialami oleh Inul, salah satu pelopor ‘popularisasi’ dangdut koplo. Popularitas mereka menanjak, musik mereka digemari di mana-mana, dan sekaligus memunculkan kembali sentimen musik “kampungan”. Beberapa golongan menganggap mereka secara kualitas musikal sangat jauh dibanding grup musik pendahulunya seperti Padi, Gigi, Peterpan (Noah), Sheila on 7 dan sejenisnya. Tapi sekali lagi, stigma “kampungan” pun ternyata memiliki pasarnya sendiri dan dapat dibilang cukup besar pada saat itu. Popularitas dangdut pun beranjak naik seturut dengan larisnya musik “pop melayu”. Hal ini kemudian mendorong orkes melayu dangdut koplo untuk membawakan ulang lagu-lagu “pop melayu” yang populer di pasaran dengan iringan irama koplo.

Ketiga, kategori lagu Jawa. Lagu Jawa dalam hal ini meliputi lagu campursari dan lagu-lagu Jawa lainnya. Saya secara khusus akan membahas lagu Jawa yang berjudul ”Ngamen 2”. Lagu ”Ngamen” memiliki seri hingga kurang lebih 11 seri; “Ngamen 1” sampai “Ngamen 11”. Lirik lagu yang terdapat dalam lagu ini berkisar tentang kehidupan orang miskin dan orang desa dalam menjalani kehidupannya. Lagu ini mulanya dipopulerkan oleh Eni Sagita dari OM. Sagita dan sangat populer di jagat dangdut koplo. Sampai saat ini saya belum mengetahui benar siapa sebenarnya orang yang menciptakan tembang-tembang tersebut. Lagu ini nampaknya diciptakan pengamen jalanan, lalu direproduksi dan dikembangkan.

Lagu berjudul “Ngamen” tidak dapat serta merta disebut sebagai lagu yang diciptakan sendiri oleh salah satu orkes dangdut koplo. Proses produksinya seperti lagu-lagu daerah (folk song); folk song dalam arti lagu rakyat yang memiliki tradisi anonimitas pencipta lagunya. Dalam perkembangannya orkes dangdut koplo juga menciptakan beberapa lagu. Nama penciptanya tetap dicantumkan, namun dinyanyikan secara “keroyokan”; satu lagu dinyanyikan beberapa orkes sekaligus, seperti yang saat ini dapat kita temui praktiknya.

Praktik semacam ini dapat kita baca sebagai suatu siasat bertahan hidup dangdut koplo. Alih-alih bertumpu pada satu sumber pencipta lagu, mereka memilih untuk menggunakan semua materi (lagu-lagu yang telah populer lebih dahulu) untuk mereka bawakan. Hal ini membuat banyak sekali pilihan lagu yang tersedia bagi orkes dangdut koplo. Hal ini juga dapat memangkas biaya produksi yang harus mereka keluarkan dibandingkan harus terus-menerus menulis lagu khusus untuk dangdut koplo. Meskipun sebenarnya, produksi lagu-lagu dangdut koplo pun tidak pernah benar-benar mandeg.

Lantas bagaimana dengan wacana hak cipta dan etika membawakan ulang lagu dari pemusik lain? Jika bersandar pada pola pikir legal-formal, maka praktik ini jelas tidak sesuai. Tapi, sekali lagi, praktik ini dapat dibaca sebagai siasat bertahan hidup dari keterpusatan industri musik yang berjalan selama ini. Dengan mendudukkan orkes dangdut koplo sebagai penghibur yang habitat aslinya di panggung pertunjukan langsung, maka metode ini lebih masuk akal. Selain itu, dalam kemunculan awalnya, orkes dangdut koplo tidak berfokus pada pembuatan album rekaman sebagaimana yang biasa dilakukan oleh grup-grup musik populer lainnya.

Pembacaan ini didasarkan pada praktik yang orkes koplo lakukan pada kisaran tahun 2012. Kini praktik dalam dangdut koplo sudah berkembang dan banyak yang membuat label musik sendiri. Pun demikian, praktik yang mereka lakukan tidak sama persis dengan apa yang dibayangkan dalam skema industri musik besar. Apa yang ditawarkan oleh label-label musik tersebut adalah orkes dan biduan. Posisi lagu dalam proses produksi ini tetap sama, lagu-lagu yang sudah populer atau tengah populer dapat dinyanyikan oleh berapa biduan yang berbeda, dengan iringan musik koplo dengan aransemen yang khas setiap orkesnya. Pendengar disuguhi pilihan aransemen, bukan semata pilihan lagu. Misalnya, mau mendengarkan “Bojo Galak” versi orkes apa? Monata, Sera, Lagista, atau New Pallapa. Mau Versi Nella Kharisma, Eny Sagita, Via Vallen atau siapa?

Aku Cah Kerjo : Ekonomi-Politik Dangdut Koplo

Setelah memahami bagaimana proses produksi lagu dalam semesta dangdut koplo, selanjutnya kita akan coba melihat bagaimana proses produksi dan distribusi rilisan musik yang menyertai dangdut koplo. Proses produksi dan distribusi VCD dangdut koplo ini disokong oleh beberapa pihak yang tersebar; pertama, penyelenggara atau tuan rumah yang memperkerjakan panitia acara; kedua, jasa perekaman (video shooting); ketiga, makelar, yang berperan memperbanyak VCD hasil rekaman tersebut; keempat, sponsor.

Penelitian yang dilakukan oleh Kusno mengungkap secara lengkap praktik produksi dan distribusi VCD dangdut koplo di Pati, Jawa Tengah. Kusno mengambil contoh kasus proses produksi dan distribusi VCD dangdut koplo yang dimulai dari satu acara komunitas nelayan dalam rangka acara sedekah laut. Para nelayan mendapatkan sumber dana utamanya dari iuran pemilik kapal sebesar Rp 1 juta per pemilik kapal. Setiap kepala keluarga yang tinggal di sekitar kampung tersebut pun dikenai iuran sebesar Rp 20.000. Selain itu, pihak luar, dalam hal ini rokok bermerek dagang Apache, turut memberikan dukungan dana sebanyak Rp 25 juta. Dana yang terkumpul sebesar Rp 90 juta. Uang tersebut digunakan untuk membayar pengisi hiburan utama, yaitu OM. Monata sebesar Rp 50 juta, dan sisanya untuk biaya panggung, keamanan, dan lighting, dan lain-lain (Kusno, 2012:80).

Alur produksi seperti ini mungkin tidak akan terjadi pada praktik industri musik arus utama. Industri musik arus utama bertumpu pada kekuasaan label rekaman. Grup musik yang meneken kontrak dengan label rekaman akan mengikuti skema yang ditentukan oleh label. Rekaman dan produksi rilisan, konser promosi atau tur dibiayai oleh label rekaman. Distribusi dan hasil penjualan rilisan pun ditangani oleh label rekaman dan jejaring gerai rilisan musik yang ditunjuk. Grup musik ‘digaji’ dengan sistem kontrak dan royalti oleh label rekaman.

Sementara itu, dalam jagat dangdut koplo, pihak jasa perekaman (video shooting) menjadi kunci dari persebaran VCD penampilan orkes dangdut koplo. Mereka terhubung dengan makelar dan jasa pengganda VCD. Akan tetapi proses penggandaan VCD ini sebetulnya dapat juga dilakukan sendiri oleh pengelola jasa perekaman. Semua keputusan tersebut disesuaikan berdasar kesepakatan antara makelar dan pemilik acara. Meski jasa perekaman menjadi kunci pesebaran VCD, pemilik acara adalah pemain utama dalam dalam rantai produksi. Karena tanpanya, tidak akan ada acara yang terselenggara.

Pemilik acara akan menunjuk pantia acara atau event organizer untuk mengurus hal-hal terkait dengan panggung, sound system, dan pengisi acara. Makelar mengisi posisi selanjutnya; dia akan menghubungkan dengan jasa perekaman dan penggandaan VCD. Karena kebanyakan panggung dangdut diadakan dalam kerangka pertunjukan hiburan atas perayaan tertentu, seperti sedekah laut, khitanan, pernikahan, ulang tahun kabupaten, dan lain-lain, sehingga tidak dipungut biaya, biasanya pemilik acara bersiasat atau memilih jalan lain untuk memperoleh keuntungan. Yaitu, dengan memperbanyak VCD dan menjualnya.

Tetapi keuntungan pemilik acara tidak mutlak. Dalam hal penggandaan VCD, pemilik acara perlu menghubungi jasa dokumentasi dan membiayainya. Pihak jasa dokumentasi dibayar sesuai peran kerjanya, mereka memiliki tarif spesifik untuk merekam suatu pertunjukan. Jika pemilik acara meminta untuk menggandakan VCD tersebut maka akan ada tambahan biaya.

Orkes dangdut koplo dalam hal ini tidak merasa dirugikan. Mereka mendapatkan keuntungan secara tidak langsung; dengan beredarnya VCD tersebut, orkes akan dikenal lebih luas oleh publik, yang berpotensi mendatangkan tawaran bermain di panggung lain. Pun mereka mendapatkan penghasilan tambahan dari “saweran”.

Sebetulnya agak rumit membicarakan “pembajakan” dalam proses produksi dangdut koplo. Pasalnya orkes dangdut koplo mencampurkan materi lagu yang dibikin pihak lain—sebutlah, “Sunset di Tanah Anarki”—dengan materi yang mungkin saja mereka tulis sendiri. Orkes dangdut koplo tidak secara spesifik menelurkan album sebagaimana grup musik yang dinaungi label rekaman arus utama. Aksi mereka direkam di atas panggung dan didistribusikan dalam bentuk rekaman pertunjukan dengan penyuntingan seadanya. Malah kadang terekam juga tawuran dan adegan kekerasan yang terjadi di kerumunan penonton. Orkes dangdut koplo tidak memiliki tim dokumentasi resmi.

Dengan skema demikian, di mana tidak tersedia infrastruktur sebagaimana dalam industri musik besar, justru membuat tiap-tiap pihak yang terlibat di sekitar panggung menjadi organisme yang hidup. Lebih jauh, mereka menjadi sebuah infrastruktur yang menyokong keberlangsungan hidup budaya arus pinggir ini. Pemilik acara, orkes dangdut koplo, jasa perekaman, jasa penggandaan, dan penjual VCD dangdut, adalah entitas yang berdiri sendiri-sendiri atas dasar kepentingan pemenuhan kebutuhan diri mereka sendiri. Akan tetapi praktik pemenuhan kebutuhan diri yang mereka lakukan bersifat sosial; mereka bergerak sendiri-sendiri namun menimbulkan dampak sosial yang saling menguntungkan. Mereka mengisi infrastruktur yang tadinya terpusat dan rumit, sehingga membuat kekuasaan tersebar dan produktif.

Praktik produksi dan distribusi yang terjadi dalam ranah dangdut koplo, menurut saya, bahkan melampaui praktik kultur Do-It-Yourself (DIY). Pada praktik DIY grup musik biasanya juga berperan sebagai pemilik label. Mereka harus membangun jaringan dengan distributor yang memiliki semangat serupa. Mereka harus mengusahakan penjualan album milik mereka sendiri. Mereka bergerak dalam wilayah musik yang spesifik dan tersegmen. Sementara orkes dangdut koplo tidak perlu repot memikirkan hal tersebut, namun dapat dipastikan peredaran musik dan roda ekonomi dalam industri dangdut koplo berputar dengan kencang. Hal ini tentu saja mengganggu tatanan produksi dan distribusi arus utama. Pola produksi ini menerabas tatanan pembagian kerja yang terbakukan dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, serta menafikan kepastian hukum hak cipta serta kepemilikan pribadi. Dengan cara ini pula dangdut koplo mampu bertahan di era digitalisasi, sekaligus bekerja–juga memperkerjakan–dan melayani masyarakat pada lapisan yang paling bawah.

Dalam hal ini, dapatkah JRX membayangkan dirinya berada di sana? Menciptakan lagu yang dianggapnya memiliki pesan khusus dan penting untuk disuarakan kepada khalayak luas yang kelas sosialnya lebih beragam. Bersediakah jika lagunya dinyanyikan ulang oleh orkes dangdut koplo dan tidak berpikir bahwa cara itu merendahkan mutu dan maknanya? Karena anggapan bahwa koplo adalah rendahan, tidak bermutu, dan anggapan semacam itu, dalam catatan saya hanya pernah muncul dari rezim dangdut dominan, seperti Rhoma Irama dalam berbagai pernyataannya yang menolak koplo sebagai dangdut. Rhoma juga sempat melarang lagunya dikoplokan. Muncul pula pandangan-pandangan bahwa ada kesakralan dalam lagu yang mereka ciptakan. Pertanyaan saya, apakah JRX sedang mereproduksi pola pikir semacam itu?

Stel Kendho : Koplo Menggoyang Kemapanan

Dangdut koplo, dalam hal ini, telah menggoyang kemapanan sebuah rezim yang terwujud pada Rhoma Irama. Pertama, menggoyang rezim kemapanan irama dangdut yang dianggap murni dengan menghadirkan irama oplosan daerah yang cepat dan menghentak. Kedua, menggoyang rezim kemapanan moralitas yang dihadirkan Rhoma melalui ideologi Islam konservatif dalam kredo musik dan syair lagu—namun kontradiktif dalam praktik kehidupannya. Koplo merayakan kebebasan dan merebut otoritas atas tubuh yang telah lama didisiplinkan, melalui goyangan yang sebebas-bebasnya sebagai penghilang stres dan kepenatan persoalan hidup harian dan rutinitas kerja. Ketiga, menggoyang rezim kemapanan pola produksi, distribusi, dan konsumsi industri musik arus utama dengan sistem kerja sama yang tidak terencana, namun mampu menguntungkan masing-masing pihak.

Praktik produksi dan distribusi lagu dalam semesta dangdut koplo memberikan kita gambaran bagaimana industri musik besar tidak lagi relevan. Siasat perlawanan dalam pemaknaan dan praktik musti timbul untuk membikin praktik tersebut lebih masuk akal lagi. Dangdut koplo memberikan tawaran tersebut melalui praktiknya, dan industri musik besar goyah. Hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan industri musik besar menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, penjualan rilisan fisik dengan sistem kontrak dan royalti sudah tidak relevan lagi. Produksi musik menjadi sebatas single, beberapa grup musik besar memilih untuk memproduksi dan mendistribusikan musiknya sendiri seperti Sheila on 7, misalnya.

Namun, apakah dengan demikian dangdut koplo serta merta menjadi revolusioner, atau setidaknya progresif? Tentu saja tidak. Bahwa dangdut koplo memiliki potensi besar untuk menggoyang rezim dominan, benar. Akan tetapi, dangdut koplo pun berpotensi besar untuk dikooptasi dan dieksploitasi. Contohnya dapat dilihat di beberapa stasiun televisi saat ini. Di mana dangdut koplo dan Via Vallen dapat dengan mudah keluar-masuk; Inul yang duduk menjadi salah satu juri dalam ajang pencarian bakat penyanyi dangdut, Via Vallen yang dipoles dan dibayangkan ulang untuk dapat meraih simpati khalayak kelas atas oleh Net TV, dan contoh-contoh lainnya.

Bagaimana dengan ‘tuntutan’ JRX agar Via dapat melakukan kerja-kerja perjuangan sebagaimana JRX lakukan selama ini? Memang, dangdut koplo menyimpan potensi besar untuk menjadi revolusioner seperti yang dibayangkan JRX. Dangdut sebagai cara tutur dan metode memiliki kemungkinan untuk diterima lebih banyak orang di negara ini ketimbang musik protes atau bernada perlawanan seperti musik punk. Tidak, saya tidak sedang mengatakan bahwa musik punk atau musik beraliran lain lebih buruk dari dangdut koplo. Punk memiliki potensi perlawanan dengan caranya sendiri, ia mampu menjadi suatu cara tutur yang sangkil dan mangkus bagi beberapa kalangan. Musik balada, misalnya, pernah berada di puncak sebagai metode dan cara tutur yang relevan bagi lagu protes melalui Iwan Fals. Yang ingin saya tekankan adalah kita mungkin dapat memandang aliran musik sebagai metode dan cara tutur untuk digunakan sebagai pengantar pesan yang dianggap penting. Dan sebagai cara tutur dan metode mestinya ia tidak tunggal. Ia bisa hadir beragam sesuai dengan siapa yang akan diajak bicara.

Kini, kita pun sebaiknya perlu mempertimbangkan musik dangdut sebagai salah satu cara tutur dan metode penyampai pesan dalam lagu protes. Dangdut selalu bisa menjamah jiwa-jiwa yang kalah. Ia mampu ‘menggerakkan’ sendi-sendi di sekitar pinggul, tangan, dan kaki, dan kepala, dan leher, dan nyaris semua anggota badan. Dangdut koplo mengamplifikasi suara-suara orang kalah dalam kehidupan hariannya; orang yang bosan miskin dalam lagu “Jamu Pegel Mlarat”, suara buruh migran dalam lagu “Rumangsamu Penak”, sampai suara patah hati seorang pemuda miskin yang tidak bisa merasakan cinta karena ukuran cinta direduksi menjadi “ra Ninja ra oleh dicinta”—yang merupakan versi lebih lokal dan brutal dari lagu “Mawar Merah”-nya Slank. Dangdut koplo merangkum semua persoalan sosial yang subtil; lokal dan personal. Urusan personal adalah politis, urusan domestik juga politis. Apalagi dalam kasus koplo, sejak kemunculannya, jenis musik ini sudah ditentang oleh rezim dangdut sebelumnya pada wilayah identitas musikal (iramanya), pola produksi dan distribusinya.

Dalam catatan saya, ada satu lagu dangdut bernada protes, yaitu lagu “Tumpang Pitu Menangis yang dinyanyikan oleh Reny Farida. Silakan simak sendiri lirik lagu tersebut, dan silakan alami sendiri pengalaman mendengarkan lagu protes dengan iringan musik dangdut.

Dengan menyadari potensi yang dimiliki oleh dangdut koplo, maukah para penulis lagu yang berjuang menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan, seperti JRX, untuk menulis lagu yang siap dinyanyikan ulang oleh orkes dangdut koplo? Lantas bagaimana dengan soal lagu yang kehilangan aura atau ruhnya? Ruh lagu atau aura dibayangkan sebagai inti dari lagu tersebut, yang diniatkan oleh pembuat lagu untuk sampai kepada pendengarnya. Karya seni memang menyimpan potensi untuk memiliki aura. Dalam catatan Walter Benjamin, aura dalam karya seni dapat menjadi salah satu bentuk pengkultusan atas karya seni tersebut. Misalnya dulu orang hanya dapat menikmati seni pada satu tempat dan waktu tertentu saja. Proses reproduksi mekanis dalam kapitalisme, memungkinkan karya seni dikonsumsi banyak orang dalam beragam ruang dan waktu. Proses inilah yang dapat melongsorkan aura dalam karya seni. Tapi dengan kekosongan aura pada karya seni ini, menurut Benjamin dapat diisi oleh muatan politis atau ideologi perlawanan. Dalam hal ini, perjuangan penyampaian pesan politis dan ideologis dibayangkan dapat juga menunggangi kapitalisme. Meskipun demikian, materi politis atau ideologi pun memiliki suatu kerentanan untuk dikomodifikasi menjadi suatu produk yang menjual.

Bagaimana dengan persoalan makna? Penulis lagu memiliki harapan bahwa pesannya akan kepada pendengarnya sebagaimana yang dia harapkan pada awalnya. Tapi proses pemaknaan tidak selalu berjalan linier. Dan bukankah lebih baik jika tidak memaksakan suatu proses pemaknaan terhadap suatu hal? Hal ini dapat menjebak seorang seniman menjadi suatu otoritas tunggal pemegang makna, bahwa orang harus memiliki pemaknaan yang sama persis dengan yang dia harapkan. Karya yang baik tentu dapat menimbulkan pemaknaan yang tidak tunggal dan dari sanalah timbul dialog-dialog yang lebih luas. Gagasan ini telah dipaparkan sebelumnya oleh Roland Barthes dalam The Dead of Author. Dalam tulisan tersebut, Barthes menjelaskan bahwa kelahiran pembaca diikuti dengan kematian pengarang (author). Proses pembacaan atau penafsiran teks akan mungkin untuk dilakukan dengan leluasa dengan meniadakan otoritas pusat yang menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Posisi pengarang ketika karya tersebut sudah dihadirkan ke khalayak kemudian berubah menjadi pembaca yang lain dan bukan otoritas penentu benar-salah makna.

Dengan demikian, mampukah kita membayangkan lagu-lagu berisi pesan kemanusiaan dari para penulis lagu akan tersebar luas secara sporadis? Merasuk melalui goyangan pada mulanya dan pesannya akan menyusup kemudian ketika mereka melamunkan makna lagu tersebut. Mampukah kita membayangkan efek dari pendidikan politik revolusioner melalui dangdut koplo? Kalau betul bukan uang dan ketenaran yang dicari, maka sediakanlah lagu-lagu dengan materi yang siap dikoplokan, susupilah pesan-pesan perjuangan dan solidaritas di sana. Ini bisa jadi salah satu metode yang baik menurut saya. Tapi mampukah para penulis lagu ini membayangkan hal tersebut tanpa melihat koplo sebagai musik rendahan dan tidak takut lagu mereka akan kehilangan makna dan auranya? []

 

Bahan Bacaan

Benjamin, Walter. The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction.

Haryatmoko. (2016). Membongkar Rezim Kepastian. Yogyakarta: PT. Kanisius.

Kusno, T. A. (2012). Proses Produksi VCD Dangdut Lokal di Wilayah Pesisir Utara Jawa (Studi Kota Pati). Skripsi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Weintraub, A. N. (2006). Dangdut Soul: Who are ‘the People’ in Indonesian Popular Music? Asian Journal of Communication , 411-431.

*) Lagu dangdut koplo “Banyuwangian” ciptaan Ali PX. https://www.youtube.com/watch?v=L4BwbBUNtik

**) Peneliti di Yayasan Kajian Musik Laras: Studies of Music in Society

Sumber: https://bit.ly/2DKPk3y

‘Rumangsamu Penak’: Analisis Wacana Politik Hidup Harian Buruh Migran Indonesia dalam Lagu Dangdut Koplo

Oleh Irfan R. Darajat

 

Abstrak

Penelitian ini hendak memaparkan bagaimana lagu dangdut ‘Rumangsamu Penak’ dapat hadir dan sekaligus menghadirkan wacana tentang buruh migran perempuan di Indonesia. Persoalan politik hidup harian kerap mewarnai tema-tema yang dihadirkan dalam syair-syair lagu dangdut. Salah satu contohnya adalah lagu dangdut berjudul ‘Rumangsamu Penak’. Lagu tersebut lahir dari curahan hati Prita Apria Risty, seorang buruh migran perempuan Indonesia yang bekerja di Hong Kong. Dia merekam dan menyangkan curahan hatinya ke dalam situs Youtube dan memancing perdebatan panjang di media daring tersebut. Video tersebut kemudian menginspirasi Nur Bayan , seorang pencipta lagu dangdut dari Jawa timur, untuk membuat lagu dari curahan hati tersebut. Curahan hatinya tersebut berdasarkan pengalaman personal menjadi buruh migran, sekaligus memantulkan konteks sosial yang melatarinya. Dengan pendekatan analisis wacana Foucaudian, akan terurai bagaimana relasi kuasa yang terbangun antara buruh migran dengan pekerja lelaki di dalam negeri, serta relasi antara negara (pemerintah) dengan buruh migran itu sendiri yang terdokumentasi pada syair lagu ini.

Abstract

This paper explicates how a dangdut song ‘Rumangsamu Penak’ [So you think it’s pleasant] brings forward discourses on Indonesian female migrant workers. Themes in dangdut song lyrics are often colored with the problems of everyday life politics; ‘Rumangsamu Penak’ is the case in point. The song was born out of the crying heart of Prita Apria Risty an Indonesian migrant worker in Hong Kong, who recorded and uploaded her soliloquy on Youtube to respond online debates about the reality of Indonesian migrant workers living and working abroad. The video went viral and inspired an East Javanese dangdut song writer, Nur Bayan, to create a song based on Prita’s video. ‘Rumangsamu Penak’ remarks the personal experience of a migrant worker and reflects the social context of Indonesian labor migration. Using Foucauldian discourse analysis approach, the paper is disentangling power relation among the community of migrant workers; between female migrant workers and male domestic workers; and lastly between the State and the migrant workers, all of which were documented in the lyrics of ‘Rumangsamu Penak.’

 

Pendahuluan

Lagu-lagu dangdut terkenal dengan kemampuannya dalam mengadaptasi tema-tema persoalan hidup harian. Dari persoalan kemiskinan, putus cinta, hingga kasus-kasus atau istilah-istilah fenomenal terkini yang menguak ke permukaan. Rhoma Irama telah mengangkat persoalan gelandangan dalam lagu yang yang berjudul ‘Gelandangan’ sejak tahun 1972. Bahkan, Rhoma Irama pernah menulis lagu yang mengangkat tema tentang persoalan yang lebih personal seperti ‘Mandul’ dan ‘Kandungan’.

Zaman terus bergerak, irama yang dihadirkan oleh dangdut makin berkembang dan bervariasi. Tetapi karakternya yang selalu ramah dengan tema yang seringkali dianggap remeh temeh tetap bertahan. Kini irama yang paling banyak diperdengarkan pada telinga kita ialah irama varian dari dangdut yang disebut dangdut koplo.

Dangdut koplo adalah varian dari irama dangdut yang mulai dikenal luas pada tahun 2003 dengan kontroversi Inul sebagai penandanya. Irama Koplo memiliki perbedaan dengan irama dangdut melayu yang dipopulerkan oleh Rhoma Irama, khususnya pada tempo dan ketukan gendangnya. Ketukan gendang yang dimiliki oleh dangdut koplo banyak terpengaruh idiom musik tradisonal daerah, khususnya dari daerah Pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tidak berhenti di situ, perbedaan antara dangdut koplo dengan dangdut melayu (Rhoma Irama) ada pada cara produksi dan distribusinya. Dalam wilayah produksi musik, yang berkaitan dengan produksi lagu, dangdut koplo memiliki dua cara. Cara yang pertama adalah dengan menyanyikan ulang lagu yang sudah ada dengan aransemen irama koplo dan yang kedua adalah membuat lagu sendiri. Cara yang pertama adalah cara yang paling banyak digunakan oleh beberapa orkes dangdut koplo karena dinilai lebih praktis dan hemat. Lagu-lagu yang mereka bawakan ulang pun ada tipe, yang pertama dari grup musik yang sudah besar dan terkenal, dari lagu-lagu irama campursari yang diaransemen ulang, atau dari lagu-lagu pengamen yang terkenal di jalanan atau di suatu daerah tertentu, contohnya adalah lagu yang berjudul ‘Ngamen’. Sedangkan pada irama dangdut sebelumnya, kebanyakan mereka bekerja dengan menciptakan lagu sendiri. Tetapi hal tersebut tidak menandakan bahwa tidak ada kerja yang dilakukan oleh pencipta lagu pada orkes dangdut koplo. sumbernya bisa datang dari mana saja. seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dari kasus-kasus atau istilah-istilah fenomal terkini. Contohnya seperti, ‘Pokemon’ saat demam permainan Pokemon (Pokoe Move On), ‘Om Telolet Om’, dan lain sebagainya.

Pola distribusinya juga menarik untuk diikuti, karena pada dangdut koplo, orkes menitikberatkan pada penampilan panggung dan pada penampilan panggung tersebut, sang empunya acara biasanya menyediakan jasa dokumentasi video. Dari dokumentasi tersebut, lalu disebarluaskan dengan atau tanpa sepengetahuan pemilik acara. Kemudian beredar dalam bentuk VCD dan dikonsumsi orang banyak. Hal ini dirasa tidak sepenuhnya merugikan orkes dangdut koplo, karena mereka tidak menyanyikan lagu mereka sendiri, kedua, karena mereka menitikberatkan pada penampilan panggung, peredaran vcd ini menjadi ajang promosi bagi kelompok orkes mereka. VCD adalah satu jalan bagi distribusi musik dangdut koplo, jalan yang lain adalah Youtube.

Salah satu contoh yang paling menarik adalah lagu yang berjudul ‘Rumangsamu Penak’. Lirik dalam lagu tersebut diambil dari ungkapan curahan hati seorang buruh migran di Facebook dan Youtube. Dalam video tersebut ujaran-ujaran yang dikeluarkan oleh sang buruh migran dirangkai satu-persatu menjadi syair dalam lagu tersebut. Lagu ini membuat sang penyanyi, Prista, menjadi terkenal dan sempat tampil di televisi1. Dari lagu ini pembicaraan terkait kehidupan parah buruh migran Indonesia pun kemudian turut terangkat ke permukaan.

Persoalan ini dapat dilihat titik pijak untuk melihat bagaimana sebuah lagu dapat menghadirkan wacana. Dari wacana tersebut kita dapat melihat bagaimana relasi kuasa bekerja di dalamnya. Secara spesifik terkait dengan persoalan buruh migran Indonesia. Bagaimana mereka dilihat dan diposisikan oleh negara, sekaligus oleh masyarakat? Dengan menelusuri lebih dalam terkait teks dan konteks yang melingkupi lagu ini, kiranya akan dapat terbaca peta diskursif yang ada dalam lagu tersebut.

Dalam hal ini perlu kiranya untuk terlebih dahulumemahami kekuasaan dalam cara pandang Michel Foucault. Kekuasaan dapat terus menerus hadir melalui alam bawah sadar dengan perantara kategori-kategori seperti, benar-salah; baik-buruk; normal-tidak normal yang terus-menerus direproduksi. Kekuasaan ialah pengejawatahan dari hubungan sosial dan terlahir dan dinyatakan melalui hubungan sosial antarindividu dalam masyarakat. Kekuasaan oleh Foucault dianggap tidak dimiliki oleh seseorang (dapat dilokalisir), tetapi tersebar dan menjadi suatu strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu (Haryatmoko, 2002:12).

Berlandaskan pada pemahaman tersebut, Foucault memberi pemaknaan yang berbeda dalam melakukan pendekatan analisis wacana. Wacana menurut Michel Foucault merupakan sistem pengetahuan yang memberi informasi tentang teknologi memerintah yang merupakan bentuk kekuasaan masyarakat modern. Wacana, berarti berbicara tentang aturan-aturan, praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-pernyataan (statements) tertentu yang bermakna pada suatu rentang historis tertentu (Hall, 1997:44). Hal ini berbeda dari yang sebelumnya bagaimana wacana hadir dalam konsep linguistik yang dimaknai sebagai passsage of connected writing or speech atau bagian-bagian dalam sebuah susunan tulisan atau ujaran-ujaran. Foucault mendekati wacana bukan hanya sebagai bahasa, melainkan juga sebagai sistem representasi. Dengan demikian wacana dibayangkan sebagai kumpulan pernyataan yang menyediakan bahasa untuk membicarakan tentang—sebuah acara untuk merepresentasikan pengetahuan tentang—topik tertentu pada periode waktu tertentu (Hall, 1997: 44). Wacana adalah produksi adalah produksi pengetahuan melalui bahasa.

Wacana dapat hadir dalam bentuk ide, opini, hukum, norma, ,oralitas, ataupun pandangan hidup yang dibentuk atau dinyatakan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi cara orang berpikir berucap, dan bertindak. Wacana dalam hal ini, bukan lagi merupakan kajian linguistik secara spesifik, sejak semua tindakan pun memiliki makna, maka wacana berada dalam kaidah bahasa dan praktik. Wacana mendefinisikan dan memproduksi objek dalam pengetahuan kita, ia mengatur topik apa yang akan dibicarakan dan mengapa harus dibicarakan. Wacan juga memengaruhi bagaimana sebuah ide digunakan dan dipraktikkan dalam mengatur sesuatu.

Ketika pemahaman tentang kekuasaan dan wacana telah mengalami pergeseran pemaknaan, maka terjadi pula pergeseran dalam titik analisis wacana. Barry Smart merumuskannya dalam lima hal (Smart, 1985:77-80). Pertama, analisis kekuasaan merupakan analisis terhadap teknik yang melekat pada institusi—beukan terhadap bentuk legitimasi kekuasaan institusi tersebut. Kedua, fokus dari analisis kekuasaan ala Foucault adalah penerapan kekuasaan, bukan pada siapa yang memiliki dan menerapkannya. Ketiga, individu dibayangkan sebagai medan berlangsungnya kekuasaan, bukan pelakon atau agen dari kekuasaan. Individu merupakan efek dari kekuasaan sekaligus elemen artikulasinya. Keempat, menekankan pada level mikri untuk mencatat sejarah, teknik, dan taktik kekuasaan. Kelima, kekuasaan perlu dipahami sebagai sesuatu yang positif dan produktif, bukan negatif dan represif.

Dengan menggunakan pendekatan analisis wacana foucault inlah kemudian hubungan diskursif antara teks dengan konteks dalam lagu berjudul ‘Rumangsamu Penak’akan ditelusuri lebih lanjut.

Curahan Hati yang Musikal

Lagu berjudul ‘Rumangsamu Penak’ mulanya berasal dari curahan hati Prista, buruh Migran Indonesia yang bekerja di Hong Kong. Prista dan kebanyakan buruh migran lainnya tergabung dalam komunitas buruh migran Indonesia, baik itu formal maupun tidak. Jejaring buruh migran ini sangat akrab dengan media sosial terutama facebook dan youtube. Mereka menggunakannya sebagai media informasi, ekspresi diri, dan pengisi waktu luang (yang tidak banyak). Mereka sangat aktif dalam menanggapi situasi negara terkini, terutama yang terkait dengan isu buruh migran.

Curahan hati Prista adalah sebuah reaksi dari status Facebook dari buruh migran yang bernama Tery Yanti. Dalam laman Facebook-nya Tery menyatakan hal yang yang menyinggung lelaki Indonesia yang bekerja sebagai kuli. Hal tersebut sontak membikin kontroversi. Tanggapan yang mengecam pernyataan Tery berdatangan, baik dari kaum lelaki di kampung halaman di Indonesia, maupun dari kalangan buruh migran itu sendiri. Tidak berhenti di situ, Tery kemudian mengunggah video yang membuat keadaan semakin keruh. Dalam videonya dia menantang semua orang yang mengecamnya dan menyuruhnya untuk tidak mengurusi kehidupan Tery. Tery malah justru memunculkan perkataan lain yang menyinggung soal status salah satu Buruh Migran Indonesia (BMI) yang memiliki status sebagai janda. Saling berbalas video pun terjadi, hingga persoalannya semakin berkembang semakin jauh. Prista pun sempat membalas, atau lebih tepatnya menanggapi video pernyataan Tery, khususnya pada hinaannya di bagian merendahkan status janda2.

Tidak bisa dimungkiri, bekerja merantau ke negeri orang seringkali menimbulkan persoalan-persoalan mendasar dalam hubungan suami-istri. Kesepian, kerinduan, dan kebosanan menunggu adalah persoalan yang dilahirkan oleh jarak. Persoalan ini seringkali mendorong pasangan initerperosok dalam jurang ketidaksetiaan. Main gila, main serong seringkali jadi hiburan yang beranjak serius. Membuat ikrar yang pernah diungkapkan oleh pasangan tersebut harus cerai di meja pengadilan. Hal ini hanya salah satu saja dari sekian banyak persoalan yang harus dihadapi oleh para Buruh Migran dan hal ini kiranya dapat menggambarkan bahwa pekerjaan dan tantangan yang mereka tanggung bukanlah hal yang mudah belaka.

Polemik berlanjut, para lelaki yang merasa dihina oleh Tery pun membalas dengan mengunggah video yang menjawab olok-olok Tery. Dengan nada yang ironis, para pekerja lelaki di dalam negeri ini memamerkan bagaimana “enak atau penak” mereka definisikan. dalam menjalani pekerjaan mereka. Mereka mengunggah rutinitas melinting rokok, minum kopi, kegiatan lainnya dan memberi definisi baru, bahwa hidup seperti demikian pun sudah enak. Tidak berhenti sampai di situ, para pekerja lelaki ini mencoba menyindir para buruh migran yang berenak-enakan kerja di luar negeri jauh dari suami atau keluarga.

Pernyataan inilah yang kemudian mendorong Prista untuk membalas pernyataan para lelaki ini tentang kehidupan menjadi TKI3. Tapi bukan hal itu saja yang menjadi fokus pembicaraan Prista, ujaran yang dilontarkannya tidak hanya meluncur pada satu arah saja. Perhatian Prista juga terarah pada sikap yang dianggapnya kurang menyenangkan yang dipertunjukkan oleh Tery, serta rencana Jokowi yang terkait dengan pemulangan TKI.

Video yang diunggahnya pun kemudian menjadi viral. Mulanya video tersebut diunggah pada situ facebook pribadinya dan kemudian beredar hingga situs youtube dan terus mengalir ampai jauh. Gaya dan cara tutur yang khas yang diragakan oleh Prista membikin produser label rekaman ProAktif kesengsem dan mengajaknya rekaman. Adalah Nurbayan (pencipta lagu ‘Oplosan’ dan ‘Pokoke Joget’) yang kemudian menggubah ujaran-ujaran tersebut menjadi syair lagu, sekaligus menyusun aransemen musik yang kemudian disatukan dengan syair tersebut.

Begitu mendengar suara Prista dan nonton videonya di Youtube ide untuk membuat lagu langsung mengalir.” (Dari TKI ke Penyanyi Rekaman, Wawasan, 8 Mei 2015. hal.2)

Dari ujaran-ujaran Prista dalam videonya Nurbayan menggubahnya menjadi syair 16 baris, dengan pembagian 4 bait, dan satu bait berisikan empat baris, ditambah dengan dua bait ujaran (spoken words) asli yang merupakan bagian dari video yang pernah dibuat Prista yang kemudian disertakan dalam lagu. Penempatan ujaran tersebut yang pertama ada pada posisi setelah syair reffrain selesai dinyanyikan. Ia menempati posisi interlude, sebelum intro kedua. Sedangkan ujaran yang kedua berada pada akhir lagu setelah reffrain kedua.

Secara musikal, formasi yang digunakan oleh Nurbayan dalam lagu ‘Rumangsamu Penak’ terbilang standar. Aransemen lagu tersebut menggunakan formasi intro (4 bar), verse1 (4 bar), verse2 (4 bar), reff (3 bar) disusul dengan 1 bar bridge, kemudian kembali lagi ke reff (4 bar) ditutup dengan satu bar penutup reffrain. Lalu beralih ke format ujaran yang diiringi dengan ketukan kendang dan seruling pada dua bar pertama dan ketukan drum pada 2 bar selanjutnya. Formasi ini kemudian berulang pada bagian kedua lagu ini tanpa perubahan yang berarti, kecuali pada penekanan atau intonasi pada setiap akhir frasa musiknya.

Verse:

rumangsamu opo penak mas (yo penak)

ditinggal bojo dewekan mas (yo penak)

aku dadi tki, mbabu neng luar negeri

kanti niat ati nggo golek rejeki

Verse:

rumangsamu penak mas (yo penak)

gesek gesek gesek ndledek mas (yo penak)

bayangno lehku kerjo neng negorone tonggo

duit sing tak kirim ojo mbok entekno

Reff:

opo rumangsamu aku neng kene

mung facebookan karo dolanan hp

dewei loo kudune ndungo

mugo-mugo lancaro anggone makaryo

Reff:

opo rumangsamu aku neng kene

mung seneng seneng ora ngosek wc, yo ngosek

piro piro rejeki sing tak tompo

tak simpen wae ora tak sombong-sombongno

Ujaran (spoken words):

(Dewe ki lho wayahe ndongo

Mugo-mugo sing neng luar negeri ora dibalekne

Kok sih ngomong penak sing neng luar negeri

Yo penak

Engko-engko deloken diluk meneh

Dikon balik matun neng sawah

Kapok weee)

Kembali ke Intro, verse1, verse2, reff1, reff2

Ujaran (spoken words):

(Ra penak piye? Neng umah, nduwe duit, Rokokan, Facebookan, upload video, kon ra penak piye?

Duite entek tinggal telpon bojo, gesek gesek gesek, ndledek

Kon ra penak piye? Lemu, yo to, lemu…)

Verse:

Kamu pikir enak mas (ya enak)

Ditinggal pasangan sendirian mas (ya enak)

Aku jadi TKI, bekerja di luar negeri

Berniat untuk mencari rezeki

Verse:

Kamu pikir enak mas (ya enak)

Gesek gesek gesek keluar mas (ya enak)

bayangkan bagaimana aku bekerja di negara tetangga

uang yang ku kirim jangan kamu habiskan

Reff:

Apa kamu pikir aku di sini

Cuma main Facebook dan handphone

Kamu itu sendirian, harusnya berdoa

Semoga lancar dalam bekerja

Reff:

Apa kamu pikir aku di sini

Cuma bersenang-senang tidak membersihkan (ngosek) WC (ya ngosek)

Berapapun rezeki yang kuterima

Aku simpan saja tidak aku sombongkan

Ujaran (spoken words):

(saat sendiri waktunya berdoa

Mudah-mudahan yang di luar negeri tidak dipulang

Kok masih saja bilang lebih enak yang di luar negeri

Ya enak

Nanti, lihat saja sebentar lagi

Disuruh pulang kembali menggarap sawah

Baru tahu tasa)

Kembali ke Intro, verse1, verse2, reff1, reff2

Ujaran (spoken words):

(Bagaimana tidak enak? Di rumah, punya uang, merokok, main facebook, upload video, bagaimana tidak enak?

Ketika uang habis tinggal telepon istri, gesek gesek gesek gesek ‘ndledek’ (keluar)

Enak kan?! Gemuk, kan, gemuk…)

Lagu ini dibuka dengan ujaran “Rumangsamu penak, mas?!” sebelum akhirnya musik masuk mengiringi. Aransemen yang dikerjakan oleh Nurbayan tidak berbeda jauh dari lagu hits yang pernah dibuatnya yaitu ‘Oplosan’. Dengan campuran instrumen gamelan yang diambil dari synthesizer, drum, tamborin, kendang, keyboard/orjen. Dari hal tersebut, kiranya ada berapa hal yang dapat dibaca. Pertama, ujaran ‘Rumangsamu Penak’ yang muncul pada awal lagu, dan terulang pada awal kalimat yang menyusun syair verse pertama dan kedua menandakan kata-kata ini digarisbawahi atau ditekankan. Ini adalah sebuah pernyataan penting yang harus muncul. Ia berfungsi sebagai sebuah sindiran dan tidak memerlukan jawaban. Jawaban dari pertanyaan tersebut pun sebenarnya sudah muncul sendiri pada suara backing vokal ‘yo penak’. Hal ini seperti sebuah pertanyaan retoris.

Penekanan dan pengulangan yang dilakukan pada kata ini pun terjadi pada video-video yang diunggah oleh Prista di kanal youtube atau facebooknya. Hal ini, berfungsi juga untuk menggaet telinga pendengar. Agar mudah dihapalkan dan tertinggal dalam benak pendengar. Selanjutnya, pada formasi lagu yang digubah oleh Nurbayan yang merupakan tiruan pucat dari lagu hits sebelumnya. Dengan melandaskan kepada pandangan Adorno terkait dengan musik populer, kita dapat melihat bagaimana musik populer telah distandarisasi, bahwa tidak ada kebaruan dalam musik populer. Hal itu dijelaskan oleh Adorno, dan sebagaimana juga terjadi dalam lagu ini, yaitu proses plugging. Sebuah proses yang digunakan oleh produser musik populer dengan meniru unsur-unsur atau formasi pada lagu yang pernah menjadi hits, dengan harapan lagu yang “baru” dapat menjadi hits lagi. Hal ini akan memberikan efek ilusi kepada pendengar bahwa lagu yang mereka dengarkan dapat memiliki dua sifat sekaligus yaitu, seolah-olah lagu tersebut berbeda dan baru tapi sekaligus ia mirip dengan lagu yang pernah didengar sebelumnya (Adorno, 2008: 271-275).

Lantas, apakah dengan demikian tidak ada yang tersisa lagi untuk membaca fenomena lagu ini selain dengan bingkai komodifikasi dan komersialisasi tema-tema hidup harian dari kelompok buruh migran ini? Tentu saja tidak demikian. Dalam hal ini kita dapat melihat bagaimana irama dangdut digunakan sebagai cara tutur. Apakah irama dangdut yang digunakan adalah irama yang sama dengan irama dangdut yang dipopulerkan oleh Rhoma irama? Tentu saja tidak, irama ini secara musikal berbeda dengan irama dangdut rhoma Irama. Meskipun tidak serta-merta dapat langsung disimpulkan sebagai irama yang sama persis dengan irama yang berkembang di daerah pantai utara, tapi unsur musik seperti ketukan perkusi dan percampuran dengan unsur musik daerah, rasanya lebih tepat jika lagu ini masuk dalam varian irama dangdut koplo. Ditambah lagi dengan bahasa yang digunakan adalah bahasa jawa dengan dialek Jawa Timur, hal ini menunjukkan siapa dirinya dan siapa yang dia ajak berbicara.

Dalam hal ini Nurbayan tidak dapat serta-merta disebut sebagai penulis syair, karena bahan syair tersebut seluruhnya berasal dari ujaran Prista. Dari curahan hati, Nurbayan mampu menangkap, memilih, dan memilah kata-kata yang penting yang kemudian diperasnya menjadi syair yang kemudian memiliki unsur musikal. Membingkai statemen-statemen yang memiliki unsur diskursif. Dengan demikian Prista tetap dapat menemukan dirinya dan suaranya sendiri dalam lagu tersebut.

Protes yang Liris

Dengan memaparkan konteks yang melatari polemik kemunculan lagu ‘Rumangsamu Penak’, sekiranya dapat memudahkan untuk memeriksa praktik diskursif yang melekat pada ujaran-ujaran Prista yang terangkum dalam syair lagunya. Pada bait pertama, syair berbunyi rumangsamu opo penak mas (yo penak)/ditinggal bojo dewekan mas (yo penak)/aku dadi tki, mbabu neng luar negeri/kanti niat ati nggo golek rejeki (Kamu pikir enak mas (ya enak)/Ditinggal pasangan sendirian mas (ya enak)/Aku jadi TKI, bekerja di luar negeri/Berniat untuk mencari rezeki). Dari syair tersebut dapat dilihat bagaimana Prista memposisikan dirinya sebagi seorang pekerja yang bekerja sepenuh hati untuk mendapatkan rezeki.

Selain itu, kita mesti lihat penggunaan kata ‘Babu’ di dalam syair ini. Dalam syair ini, kata-kata babu tidak begitu dipersoalkan oleh buruh migran lainnya, karena dalam hal ini Prista sedang menyebut dirinya sendiri. lain persoalannya pada kasus yang terjadi ketika Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR yang mengeluarkan cuitan di akun pribadi twitter miliknya yang berbunyi: “Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela…”4. Ujaran ini menuai kritik dan kecaman keras dari berbagai kalangan termasuk dari kalangan pejabat dan buruh migran sendiri. Hal ini hampir sama logikanya jika dibandingkan dengan bagaimana kata-kata ‘negro’ digunakan di Amerika. Jika orang Amerika keturunan Africa sendiri yang mengucakannya maka tidak akan menjadi terlalu bermasalah, namun jika diungkapkan oleh kaum kulit putih maka ini menjadi persoalan besar menyangkut isu rasisme. Dalam hal ini, ungkapan yang digunakan oleh Fahri Hamzah dianggap merendahkan harkat para buruh migran.

Pada bait selanjutnya, syair berbunyi; rumangsamu penak mas (yo penak)/gesek gesek gesek ndledek mas (yo penak)/bayangno lehku kerjo neng negorone tonggo/duit sing tak kirim ojo mbok entekno (Kamu pikir enak mas (ya enak)/Gesek gesek gesek keluar mas (ya enak)/bayangkan bagaimana aku bekerja di negara tetangga/uang yang ku kirim jangan kamu habiskan). Kalimat selanjutnya adalah gesek, geek, gesek, ndhledek (keluar), kalimat ini kemudian diperjelas konteksnya dengan kalimat lanjutannya yang berbunyi, ‘kerja di negara tetangga, uang yang aku kirim jangan kamu habiskan’. Dengan begini, dapat dimengerti bahwa yang keluar adalah uang kiriman hasil bekerja di luar negeri. Di sini, Prista sebagai buruh migran dan perempuan memiliki statemen yang penting. Yaitu bahwa dialah penopang ekonomi keluarga, dan bekerja dengan lokasi yang jauh dan asing tentu tidak semudah itu dijalani. Hal ini digunakan sebagai pengingat kaum lelaki yang tinggal di kampung halamannya, yang ditinggal istrinya pergi bekerja di luar negeri agar dapat menggunakan uang hasil kirimannya dengan sebaik-baiknya. Pada bait ini pun kita dapat melihat bagaimana Prista mengulang penjelasan tentang perjuangannya bekerja di luar negeri, bahwa hal itu tidak mudah.

Hal tersebut diperkuat dengan bait selanjutnya yang berbunyi, opo rumangsamu aku neng kene/mung facebookan karo dolanan hp/dewe i lho kudune ndungo/mugo-mugo lancaro anggone makaryo (Apa kamu pikir aku di sini/Hanya bermain Facebook dan handphone/Kamu itu sendirian, harusnya berdoa/Semoga lancar dalam bekerja). Di sini Prista terlihat mengklarifikasi pandangan lelaki yang menyindir para buruh migran yang bekerja hanya ‘enak-enakan’ dan rajin bermain facebook. Hal ini didasarkan pada kegiatan para buruh migran yang sangat aktif dalam menggunakan sosial media. Hal ini mungkin terjadi karena kaitannya dengan waktu luang yang dimiliki di dalam rumah oleh para buruh migran. Karena melakukan kerja domestik bukanlah melakukan pekerjaan yang berdurasi 24 jam, namun hanya sesuai yang dibutuhkan saja.

Meskipun demikian, pekerjaan buruh migran pun dikatakan tetap melakukan pekerjaan yang paling mendasar seperti membersihkan kamar mandi, hal ini diungkapkan dalam syair lagu selanjutnya yang berbunyi, opo rumangsamu aku neng kene/mung seneng seneng ora ngosek wc, yo ngosek/piro piro rejeki sing tak tompo/tak simpen wae ora tak sombong-sombongno (Apa kamu pikir aku di sini/Cuma bersenang-senang tidak membersihkan (ngosek) WC (ya ngosek)/Berapapun rezeki yang kuterima/Aku simpan saja tidak aku sombongkan). Selanjutnya Prista menjelaskan tentang bagaimana sikap rendah hati mestinya tetap dimiliki oleh pekerja. Dalam ini, niatan untuk mengingatkan kesombongan yang dimaksud mengarah pada dua sisi, yaitu para rekan buruh migran, berkaca dari kasus Tery, dan para pekerja lelaki dalam negeri. Karena sejatinya keduanya memiliki kesusahan dan kesenangan masing-masing.

Struktur lagu selanjutnya kemudian berisi dengan ujaran Prista yang diambil dari video curhatnya. Artinya, kata-kata yang keluar termasuk bagian dari lagu tapi tidak dinyanyikan. Syairnya berbunyi, Dewe ki lho wayahe ndongo/Mugo-mugo sing neng luar negeri ora dibalekne/Kok sih ngomong penak sing neng luar negeri/Yo penak/Engko-engko deloken diluk meneh/Dikon balik matun neng sawah/Kapok weee (saat sendiri waktunya berdoa/Mudah-mudahan yang di luar negeri tidak dipulangkan/Kok masih saja bilang lebih enak yang di luar negeri/Ya enak/Nanti, lihat saja sebentar lagi/Disuruh pulang kembali menggarap sawah/Baru tahu tasa). Dalam bait ini kita melihat bagaimana Prista membicarakan harapan, agar ‘sing neng luar negeri ora dibalekne/yang di luar negeri tidak dipulangkan dan kembali bekerja di sawah. Hal ini merujuk pada pernyataan Jokowi yang ingin memberhentikan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Alasannya karena terkait dengan harga diri bangsa. Artinya, masih ada persoalan dalam memandang para pekerja ini, para buruh migran ini. Bagaimana para pekerja ini, dipandang sebagai hal yang memalukan, sementara alasan keberangkatan mereka mencarai pekerjaan di luar negeri adalah karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang layak dan mencukupi bagi mereka.

Lebih lanjut, ungkapan yang menarik adalah bagaimana ketakutan Prista untuk kembali menggarap sawah. Terbaca pada ujaran yang berbunyi, Dikon balik matun neng sawah/Kapok weee. Dalam hal ini, terlihat bagaimana kerja menjadi petani rupanya menjadi hal yang dihindari oleh tenaga kerja yang berusia masih muda. Hal ini tentu saja dapat lebih jauh ditelisik muasalnya. Apakah karena sistem yang membuat petani sulit hidup dengan layak di negara ini, apakah karena negara yang tidak berpihak pada petani, apakah karena sawah yang dikerjakan bukan merupakan miliknya, sehingga dalam perekonomian menjadi lebih sulit, atau jika lahan itu milik mereka sendiri namun negara malah menggusurnya seperti yang terjadi pada kasus petani Rembang dan Kulon Progo5?

Syair selanjutnya intinya merupakan penjabaran tentang hal yang lebih detil tentang sindiran Prista yang dialamatkan pada lelaki di kampung halaman (Indonesia). Ra penak piye? Neng umah, nduwe duit, Rokokan, Facebookan, upload video, kon ra penak piye?/Duite entek tinggal telpon bojo, gesek gesek gesek, ndledek/Kon ra penak piye? Lemu, yo to, lemu… (Bagaimana tidak enak? Di rumah, punya uang, merokok, main facebook, upload video, bagaimana tidak enak?/Ketika uang habis tinggal telepon istri, gesek gesek gesek gesek ‘ndledek’ (keluar)/Enak kan?! Gemuk, kan, gemuk…. Terlihat bagaimana dia menjabarkan semua aktifitas yang dilakukan oleh para pria di sebuah video yang mulanya tuduhan tersebut ditujukan pada para buruh migran seperti dirinya. Dengan menggunakan gaya bahasa ironi, sekali lagi Prista menunjukkan siapa yang menjadi penopang ekonomi keluarga.

Secara keseluruhan dalam teks ini dapat dilihat bagaimana statemen-statemen yang tersebar pada syair lagu ‘Rumangsamu Penak’ menghadirkan sebuah wacana. Sebuah wacana protes yang dikemas dalam cara tutur yang jujur, yang menggambarkan keadaan yang dialami kaum buruh migran. Dan dari sana pula kiranya dapat terlacak, wacana apa saja yang kemudian melingkupinya, bagaimana wacana tersebut menekan dan menghimpit buruh migran Indonesia. Melalui penggambaran persoalan hidup harian, syair yang terkesan liris ini tidak lain adalah sebuah bentuk protes.

Kesimpulan

Indonesia menjadi negara terbesar kedua dalam urusan mengirim pekerja migran dan 90% di antaranya adalah perempuan (Isabella, 2016). Hal ini terjadi tentu bukan tanpa sebab. Kita harus bisa melihat apa yang bisa didapatkan di luar negeri sebagi TKI yang tidak bisa didapatkan di dalam negeri sebagai perempuan. Arus pengiriman pekerja domestik ke luar negeri telah terjadi semenjak tahun 1970-an, dan terus bertambah pada tahun 1980-an ketika negara-negara yang termasuk dalam sebutan “Macan Asia” (Singapura, Jepang, Taiwan, Korea Selatan) mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dan memiliki permintaan atas kebutuhan pekerja domestik dari negara-negara berkembang di Asia Tenggara (Kaur, 2009: 288).

Menjalani kehidupan sebagai buruh migran terutama perempuan memang berat. Pada satu sisi kehadirannya dianggap dan dielu-elukan sebagai pahlawan devisa. Tetapi negara pun ternyata tidak terlalu bangga terhadapnya. Belum lagi pandangan masyarakat terkait persoalan rumah tangga buruh migran yang kebanyakan tidak berlangsung dengan baik. Jarak dan kesepian membuat banyak pasangan terlibat pada kasus perselingkuhan hingga perceraian. Belum lagi kasus kekerasan yang kerap kali menimpa para buruh migran, juga seringkali terjerumusnya para calon pekerja ke dalam sindikat perdagangan manusia. Hal ini menjelaskan bagaimana latar persoalan dan resiko yang dihadapi oleh buruh migran sejak awal dirinya memutuskan untuk bersedia bekerja di luar negeri.

Dari rentetan peristiwa dan konteks yang melatari lagu ‘Rumangsamu Penak’ ini dapat terlihat bagaimana praktik wacana bekerja dalam kerangka berpikir Michel Foucault. Wacana dalam hal ini terkait erat dengan politik, politik dalam hal ini terkait erat dengan persoalan kuasa, dan kekuasaan tidak terpusat pada institusi negara saja. Ia tersebar bahkan dalam praktik hidup harian dan memengaruhi cara pandang manusia terkait dalam menentukan kategori mana yang baik dan buruk; mana yang wajar mana yang tidak wajar; mana yang normal dan mana yang tidak normal (Haryatmoko, 2016: 14-15).

Kesombongan yang ditampilkan oleh Tery dan para pekerja lelaki dalam negeri (kuli) dirasa oleh Prista sebagai hal yang tidak perlu. Karena masing-masing menanggung bebannya masing-masing. Kesombongan yang ditampilkan oleh Tery merupakan sebuah respon atas pandangan umum yang seringkali merendahkan posisi Buruh Migran. Sehingga kesombongannya merupakan sebuah upaya untuk mendefinisikan kembali posisinya. Dia ingin memunculkan wacana kesuksesan dan gengsi dalam dirinya melalui bahasa yang dinilai kasar. Kesombongan Tery lahir dari pandangan yang merendahkan dirinya, yang sudah terjadi selama ini terhadap buruh migran. Begitupun yang terjadi dengan para lelaki yang bekerja sebagai kuli di kampung halaman Indonesia. Wacana patriarki yang bekerja terlalu lama dan mendalam dalam sistem sosial Indonesia membikin para lelaki yang bekerja sebagai kuli ini merasa direndahkan. Dengan cara pandang ptriarki, lelaki memiliki pemikiran bahwa beban ekonomi harus ditanggung olehnya, dan ketika hal tersebut tidak dapat dipenuhi maka lelaki akan lari kepada kekerasan, baik yang berupa verbal, psikis maupun fisik. Dalam sistem patriarki lelaki pun sebenarnya dirugikan, dan lebih parahnya pelarian yang diambil oleh lelaki terkadang justru semakin merugikan perempuan. Porsi kerugian yang diterima perempuan tentu saja lebih jauh ketimbang yang dialami oleh perempuan. Video Prista yang tidak terima atas ujaran Tery—yang menghina buruh yang memiliki status janda—pun merupakan sebuah respon. Respon yang menentang pandangan masyarakat bahwa janda itu buruk, lebih hina karena tidak berhasil membina hubungan rumah tangga, atau karena alasan apapun. Begitupun respon terhadap pandangan lelaki yang melayangkan tuduhan bahwa hidup kaum buruh melulu ber-enak-enak-an saja.

Respon-respon tersebut tercantum dalam syair lagu rumangsamu penak. Setiap respon yang muncul dapat kita baca sebagai sebuah statemen yang melahirkan wacana. Sebuah wacana tandingan yang lahir dari suatu wacana yang lebih besar. Dalam hal ini, kekuasaan dapat kita maknai sebagai sesuatu yang bersifat produktif. Dia melahirkan anti-kuasa. Anti-kuasa yang lahir bukan dari luar atau dari mana pun, tapi dari kekuasaan itu sendiri.

Selain itu, wacana lain yang berurusan dengan lagu ‘Rumangsamu Penak’ adalah wacana bagaimana negara memandang buruh migran. Negara dalam hal ini mewujud pada Jokowi dan Fahri Hamzah. Instrumen kekuasaan yang mereka gunakan adalah bahasa. Bahasa merupakan hasil dari praktik sosial dan di sana bekerja juga kekuasaan. Wakil Ketua DPR menyebut mereka sebagai babu pengemis. Presiden malu menanggung malu karena negara yang dipimpinnya merupakan tiga besar negara pengirim pekerja domestik di dunia. Dari statemen tersebut dapat kita lihat bagaimana kekuasaan bekerja lewat bahasa. Sementara itu semua statemen itu tidak diimbangi dengan penyelesaian yang jelas. Terkait bagaimana pemerataan ekonomi dan lapangan pekerjaan, perlindungan terhadap pekerja domestik yang di luar negeri, dan lain sebagainya.

Posisi dangdut koplo dalam hal ini berfungsi sebagi medium yang mewadahi cara tutur Prista yang khas. Meskipun dangdut memiliki sejarah kaitan yang kuat dengan tema-tema persoalan hidup harian, tapi penggunaan bahasa di sini menjadi penting. Bahasa Jawa digunakan sebagai cara tutur yang khas, yang mewakili siapa dirinya dan siapa yang dia ajak bicara. Begitupun dengan irama yang dangdut yang dipilih. Secara diskursif, posisi dangdut koplo pun dalam ranah musik dapat dibilang terpinggirkan. Pada awal kemunculannya, Rhoma Irama mengecam Inul, dan menolak mengatakan musik dangdut koplo sebagai musik dangdut6. Irama musik dangdut koplo digemari oleh banyak kalangan buruh migran dan pekerja di Indonesia. Dalam kaitannya dengan beredarnya lagu ini di wilayah industri populer tidak serta-merta membuat tema ini menjadi bisu belaka. Masuknya tema ini dalam wilayah industri populer, direkam dengan layak dan profesional, serta dikelola oleh label rekaman besar dapat menjadi sebuah siasat. Bagaimana tema ini dapat tersebar pada pendengar yang lebih luas. menyentuh telinga-telinga orang-orang yang awalnya tidak peduli atau tidak pernah tersentuh dengan wacana macam ini. Jadi perpaduan irama koplo dan tema curahan hati seorang buruh migran dapat dimaknai sebagai perpaduan yang artikulatif dalam menyuarakan suara-suara orang kalah; yang rupanya masih mampu untuk melawan; masih mampu untuk menolak kalah.

 

Daftar Pustaka

Adorno, Theodor. On Popular Music (dalam Current of Music). Cambridge: Polity Press, 2008. (Artikel)

Fairclough, Norman. Language and Power. New York: Longman Inc, 1941. (Buku)

Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. New York: Tavistock, 1972. (Buku)

Hall, Stuart (ed). Representation. London: Sage Publication Ltd, 1997. (Buku)

Haryatmoko. Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis); Landasan Teori, Metodologi dan Penerapa. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2016. (Buku)

—, Membongkar Rezim Kepastian. Yogyakarta: Kanisius, 2016. (Buku)

Smart, Barry. Michel Foucault. New York: Routledge, 1985. (Buku)

Jie, Buyil. Dari TKI ke Penyanyi Rekaman. Koran Pagi Wawasan, 8 Mei 2015. (Koran)

Internet

Isabella, Brigitta. The Production of Shared Space: Notes on Indonesian Migrant Workers in Hong Kong and Japan. (https://kyotoreview.org/yav/indonesian-migrant-workers-hong-kong-japan/). Diakses pada 1 April 2016, pukul 19.23.

http://regional.kompas.com/read/2015/02/14/03274001/Jokowi.Akan.Stop.Pengiriman.TKI. Diakses pada tanggal 30 Maret 2017, pukul 13.00.

Catatan akhir

[1] Prista sempat tampil dalam beberapa acara talkshow diantaranya ‘Bukan Empat Mata’ (Trans7), ‘Curahan Hati Perempuan’ (Trans TV), ‘Trending Topic’ (Metro TV), dan ‘Dhasyat’ (RCTI).

[2] Videonya dapat diakses pada alamat https://www.youtube.com/watch?v=8_U6pYn2Vo4.

[3] Video tersebut dapat diakses pada laman berikut; https://www.youtube.com/watch?v=Z1vLLLYG8QY.

[4] http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-38728106 diaksees pada 30 Maret 2017, pukul 17.21.

[6] Konferense PAMMI (Persatuan Artis Musisi Melayu Indonesia), Rhoma Irama menyatakan menolak istilah dangdut koplo, dia membedakan islah dangdut dan koplo. “Dangdut ya dangdut, koplo ya koplo. Jangan sebut dangdut koplo.”

 

Sumber: Jurnal Kajian Seni PSPR UGM

Artikel dalam format pdf dapat diunduh di sini.