Mencari Narasi yang Terburai

Oleh Raka Ibrahim*

 

Mencari Narasi yang Terburai Sampul buku “Lanskap: Mosaik Musik Dalam Masyarakat”

Menulis tentang musik dengan baik memang bukan perkara mudah. Penulisan musik populer kita kesulitan memberikan pembacaan yang apik terhadap relasi musik dengan ruang dan waktu, seluk-beluk perkembangan sebuah scene, hingga melacak ragam eksperimentasi dalam estetika musik.

Di tengah kondisi semacam ini, kehadiran LARAS – Studies of Music in Society memberi angin segar. Berdiri pada 2014, lembaga ini menyajikan berbagai penelitian yang mendalam tentang musik dan masyarakat. Sejak 2016 silam, mereka telah menerbitkan dua edisi seri kumpulan tulisan Mosaik Musik dalam Masyarakat – hasil dari forum peneliti yang mereka gagas.

Setelah menerbitkan buku pertama dalam serial tersebut, Ensemble, belum lama ini LARAS menerbitkan seri kedua yang diberi judul Lanskap. “Dengan bingkai yang terukur,” tulis LARAS di sampul belakang buku tersebut, “penulis-penulis yang bergabung dalam Forum Peneliti ini mencatatkan hasil amatannya terkait kelindan musik dengan ruang hidupnya di masyarakat.” Lanskap pun menegaskan ambisinya sejak awal. Ruang hidup tersebut hendak mereka bedah melalui kumpulan artikel yang berangkat dari “berbagai topik dan sudut pandang”. Mulai dari kemunculan gerakan Metal Satu Jari, pentingnya ucapan terima kasih di sampul dalam album musik, geliat musik gamelan kontemporer di Solo, hingga siasat pemuda tahun ’60-an dalam menikmati musik rock di tengah pelarangan oleh Bung Karno.

Keragaman topik ini bisa jadi kekuatan utama atau kesalahan fatal Lanskap. Dengan upaya mereka menyapu bersih semua kemungkinan tematik, Lanskap justru menjadi buku yang tidak memiliki fokus. Dialog antara satu artikel dengan yang lainnya kurang terjalin, dan amatan-amatan di beberapa artikel tidak dikembangkan secara mendalam. Sehingga,  ironisnya, “lanskap” yang ingin mereka wujudkan ke pembaca tidak tersampaikan dengan baik.

Ambil contoh artikel Gak Dangdut Gak Getuk karya Michael HB Raditya. Pada tulisan tersebut, Michael menginvestigasi kecenderungan para penjual getuk di Yogyakarta memperdengarkan musik dangdut ketika gerobak mereka berkeliling. Penelusuran ini sejatinya bermuara pada kesimpulan yang menarik: para pedagang getuk tersebut, sebagai pendengar musik dangdut kontemporer, turut mengenalkan musik dangdut baru kepada pendengar yang sekaligus menjadi pembeli getuk mereka.

Namun, konklusi menarik ini sebetulnya mengundang pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Seberapa ‘modern’-kah para penjual getuk ini, sehingga mereka mampu, mengutip Michael, “memperbarui dan memulai dari pengetahuan yang sama dengan masyarakat”? Apakah betul terjadi interaksi dan pertukaran referensi dangdut, ataukah hal ini hanya konsekuensi dari fakta bahwa penjual getuk tersebut adalah konsumen pasif musik dangdut – sama seperti pembeli-pembelinya?

Persoalan lebih parah dialami oleh artikel Karaoke Keluarga: Ruang Alternatif Negosiasi ‘Suara’ karya Mei Artanto. Dalam pengamatannya terhadap tempat karaoke keluarga di Yogyakarta, Mei berkesimpulan bahwa “bernyanyi […] merupakan aktivitas yang sangat menyenangkan, (tapi) tidak semua dari kita memiliki kesempatan eksklusif untuk bernyanyi di atas panggung” (hal. 54). Maka karaoke, tulisnya, menjadi upaya “para pemodal” untuk menyajikan ruang di mana konsumen dapat menyimulasi pengalaman bernyanyi di panggung profesional. Janggal betul rasanya membaca konklusi artikel riset yang hanya berupa parafrase company profile Inul Vizta.

Sejauh ini, Lanskap jatuh pada lubang yang sama dengan tulisan-tulisan populer berbau akademis lain – termasuk barangkali media ini sendiri. Ia kebingungan antara menulis tentang musik secara “ringan sekaligus mendalam” atau secara akademis, dan memaksakan narasi-narasi besar pada persoalan yang sebetulnya sepele.

Lanskap justru berhasil ketika ia membedah fenomena-fenomena yang lebih spesifik, dan bermain di tataran narasi kecil. Pada artikel Kurmat pada Anane Tradisi, misalnya, Leilani Hermiasih melacak bagaimana musik gamelan kontemporer berkembang di Surakarta sejak 1960-an. Sosok Gendhon Humardani, kisah Leilani, amat berjasa dalam mendobrak pakem-pakem seni tradisi. Eksperimentasi dan ajaran-ajarannya yang kontroversial kemudian memengaruhi generasi baru musisi yang berani mengembangkan musik gamelan, termasuk komposer legendaris Rahayu Supanggah.

Artikel Leilani adalah salah satu momen di mana ambisi tematik Lanskap tidak terasa salah tempat – meski seorang penyunting yang lebih rewel pasti bermasalah dengan proporsi topik di artikel ini. Alih-alih membahas lebih jauh tentang masa-masa penuh perubahan yang turut diinisiasi Humardhani, ia justru terlalu fokus pada kekaryaan dan sosok Supanggah. Naskah yang semestinya bisa menelaah zeitgeist ini jadi lebih mirip biografi personal.

Dialog antar teks yang menarik terjadi antara naskah Salam Satu Jari: Politik ‘Ruang’ dalam Skena Musik Underground karya Ferdhi F. Putra dengan esai Black Metal di Kemranjen, Banyumas karya Wiman Rizkydarajat. Pada Salam Satu Jari, Ferdhi menelusuri perkembangan gerakan Metal Satu Jari yang menggabungkan ekspresi musik metal dengan ideologi-ideologi Islam fundamentalis. Terobosan gerakan tersebut terjadi ketika mereka mengadakan konser bertajuk Urban Garage Festival, yang berlangsung pada 2010 di Rossi Musik, Jakarta Selatan.

Medio Oktober 2010, mencuatnya Metal Satu Jari ini ditanggapi oleh scene musik Ibukota dengan konser tandingan Metal Untuk Semua. Menariknya, meski terjadi konser tandingan dan ‘adu’ wacana melalui media dan komunitas masing-masing, pergesekan ini tidak pernah bermuara menjadi apa-apa. Semangat dari Metal Untuk Semua tidak pernah berkembang menjadi gerakan serius untuk menandingi wacana Metal Satu Jari, ataupun upaya untuk menjembatani perbedaan antara kedua kubu. Perang dingin tersebut terus niscaya berlanjut entah sampai kapan.

Hal ini kontras dengan pengalaman musik metal kota kecil yang digambarkan oleh Wiman Rizkydarajat di esai Black Metal di Kemranjen, Banyumas. Mengambil contoh Agnostica, band black metal asal Kemranjen, Wiman menyorot bagaimana mereka bersiasat untuk menjaga eksistensinya di sebuah kota kecil yang lekat dengan tradisi tani dan pesantren. Agnostica berjejaring dengan anak-anak pesantren yang mengapresiasi musik underground – termasuk komunitas santri penggemar musik underground bernama Penjara Suci Underground Community – dan mengutak-atik konten lirik, musik, serta citra publik mereka. Mereka pun berdalih bahwa nama Agnostica, yang berkonotasi negatif, sebetulnya adalah singkatan absurd dari Art of Generation Symphonic Estetica.

Respon para punggawa scene metal ketika subkulturnya di-infiltrasi atau berinteraksi dengan ideologi keagamaan nampak begitu kontras di kedua artikel tersebut. Perbedaan sekaligus konteks dari kota besar dan kota kecil pun nampak kentara, dan pembacaan Lanskap menjadi lebih tajam dan spesifik.

Barangkali, inilah konsekuensi dari stagnasi wacana terkait musik Indonesia, pola konsumsi musik kita yang amat pasif, minimnya eksperimentasi bentuk di ranah musik populer, dan tiadanya strategi kebudayaan yang jelas. Jurnalis maupun akademisi jadi kesulitan mengaplikasikan narasi besar atau analisis mendalam pada musik Indonesia tanpa terasa memaksa atau, lebih parahnya lagi, menjadi sekadar masturbasi intelektual.

Lanskap menghadapi risiko ini dengan berani. Namun, apa yang hendak dibedah bila fenomena musikal tersebut sejak awal tidak dirancang secara matang? Sejauh manakah kita dapat menelaah subkultur yang muncul secara tidak disengaja, letupan-letupan pemikiran yang tidak ditempatkan dalam konteks, dan kanon musik yang sebetulnya biasa-biasa saja?

Mungkin, justru di sinilah letak persoalan yang paling mendasar. Sejak awal, LARAS telah menghadapi medan sosial yang miskin. Ia justru terpaksa menghimpun narasi kecil yang terburai di sana-sini, dan mencari kemungkinan-kemungkinan baru di sana. (*)

Lanskap: Mosaik Musik Dalam Masyarakat

Michael HB Raditya, M. Rizky Sasono, Teraya Paramhta, dkk.
Yayasan Kajian Musik Laras
2018

*) Raka Ibrahim, Editor Musik di Jurnal Ruang. Tulisannya telah dimuat di berbagai antologi, zine, & publikasi independen seperti Jakartabeat dan Pindai. Mendirikan webzine Disorder Zine pada tahun 2013.

 

Sumber: https://bit.ly/2B7Tssn

One of The Boys: Perempuan di Scene Musik

Oleh Zara Zahrina*

“It’s a man’s man’s man’s world”.

Meskipun sudah lima puluh tahun setelah pertama diutarakan oleh penyanyi soul James Brown, ungkapan di atas masih menjadi cerminan keadaan scene musik independen hari ini. Sejak pertama kali aku mengenalnya, panggung dan venue musik independen memang cenderung didominasi oleh laki-laki. Tak semua gigs menghadirkan perempuan sebagai penampil dan jika ada, jumlahnya dalam line-up juga masih dapat dihitung jari.

Sesekali aku masih menemui beberapa orang perempuan di antara kepala-kepala penonton yang menyeruak di depan panggung–meski tentu, jumlahnya tak sebanding dengan laki-laki yang memenuhi ruangan.

Hera Mary, vokalis band sludgecore Oath sekaligus sutradara film dokumenter Ini Scene Kami Juga berpendapat serupa. “Sejak terbentuknya Oath dari tahun 2012 hingga sekarang, aku menemukan ada beberapa ketimpangan yang jelas dalam scene antara perempuan dan laki-laki dalam hal jumlah, keterlibatan, dan apresiasi,” tuturnya. Perjalanan tur dengan bandnya ke berbagai kota membuat Hera menyadari kurangnya kehadiran perempuan dalam acara-acara punk dan hardcore.

Tentu saja, dominasi ini jauh lebih dalam dan kompleks dari sekadar jumlah dan angka. Hanya karena ada lebih banyak perempuan di scene, bukan berarti mereka telah benar-benar dilibatkan. Seperti halnya scene lain yang didominasi kehadiran laki-laki, pola pikir, tradisi, dan kode-kode yang kemudian berkembang di dalam scene musik independen—termasuk di dalamnya punk dan hardcore—ikut terseret menuju kecenderungan yang maskulin.

Apakah scene musik independen lokal sudah mampu memberi ruang, mendukung, dan mengapresiasi partisipasi perempuan? Kalau ruang itu ada sekadar untuk mereduksi musisi perempuan menjadi aksesori yang membuat suatu band jadi menarik ditonton, mungkin sudah. “Personel perempuan dianggap sangat keren dan eksklusif, semacam jadi selling point. Padahal skill-nya sama saja,” lanjut Hera. “Pada akhirnya, kita terjebak oleh objektifikasi itu sampai kita sendiri lupa sebenarnya mau ngapain di scene ini.”

Label “the girl in the band” yang meremehkan adalah pandangan yang hampir selalu dihadapi perempuan. Salah satu teman yang punya pengalaman menyebalkan tentang ini adalah Smita Kirana, bassist di band indie pop Bedchamber. “Banyak orang yang menganggap aku nggak ngerti apa-apa dan cuma ada di panggung sebagai eye candy—yang paling bikin kesal adalah aku “diajarin” tuning.”

Di sisi lain, penampil perempuan dalam scene musik juga kerap menerima perlakuan seksis berkedok apresiasi. Beberapa minggu lalu, seorang teman yang juga rajin lalu lalang di scene musik memberiku saran yang sangat groundbreaking: “Kalau mau bandmu cepat “naik”, bikin saja band yang personelnya cewek semua. Keren sih.”

Jujur saja, aku heran anggapan sedangkal itu masih ada di 2018. Sayangnya, teman itu (saat ini aku mulai ragu untuk masih menganggapnya teman) bukan satu-satunya lelaki yang berpikir demikian. Angeeta Santana, vokalis grup Grrrl Gang, juga pernah menerima saran yang serupa. “Katanya sih band yang ada anggota ceweknya jadi lebih menarik,” kenangnya. Sepertinya, kami berdua perlu mengevaluasi lagi lingkaran orang-orang terdekat kami.

****

Semestinya tidak begini. Pada dasarnya, scene musik independen di mana pun dibentuk sebagai upaya untuk menantang norma dan nilai budaya arus utama. Gerakan ini bertujuan mengusik status quo mereka yang bercokol di puncak tangga nada. Namun, pada praktiknya, scene masih jauh dari kata progresif–bahkan belum lepas dari cengkeraman politik gender yang patriarkis dan konservatif.

Tidak mengherankan, karena scene musik independen sebagai sebuah subkultur merupakan cerminan dan perayaan atas identitas maskulin anggotanya.[1] Gig punk, misalnya, pada awalnya memang sengaja tidak dikonstruksi sebagai ruang yang ramah terhadap partisipasi perempuan—seperti yang diklaim oleh zine-zine terdahulu bahwa “punks are not girls”.[2] Lirik-lirik misoginis juga masih sering ditemui.

Dalam perkembangannya, scene musik independen mungkin mulai memberikan kesempatan bagi perempuan untuk ikut hadir dan terlibat. Meski pintu mulai dibuka, masih ada batasan dan ekspektasi yang dibuat oleh para laki-laki yang telah hadir sebelumnya. Pada akhirnya, kehadiran perempuan dalam scene musik independen seringkali terhenti pada tokenisme dan upaya mewujudkan kesetaraan semu.[3]

Ruang gerak perempuan dalam scene musik independen menjadi makin sempit. Kalau kamu tidak memenuhi standar, kamu tidak dapat diterima di dalam scene. Maka, perempuan terpaksa bersiasat. Salah satunya adalah dengan menginternalisasi–atau paling tidak meniru–nilai-nilai maskulin yang dianggap dekat dengan sifat agresif, cuek, dan asertif. Perangai seperti ini lantas dirayakan baik di dalam maupun di luar mosh pit untuk memastikan bahwa nilai-nilai yang sudah ada tetap langgeng. [4]

Tekanan untuk menjadi “one of the boys” juga pernah dirasakan oleh Smita. “Dulu aku selalu berusaha jadi “cewek asyik”—aku harus cuek, enggak boleh rempong, setelah dipikir-pikir ya jadi cewek yang tomboy,” tuturnya. “Jadi cewek yang bisa menolerir kalau teman-teman cowoknya ngomongin cewek lain in a degrading way. Cewek yang mengkritik cewek-cewek lain yang “rempong”, enggak kayak aku.”

Tentu saja, jangan lupakan peran mereka sebagai obyek fantasi bagi para laki-laki scene yang mendambakan pasangan yang hampir sama “kerennya” dengan mereka, tapi tidak lebih jago dalam bermusik. Se-“asyik” apa pun mereka, perempuan-perempuan ini masih harus dihadapkan dengan ekspektasi untuk tampil “menarik” dan “nrimo”. Dua nilai yang secara tradisional dianggap feminin. Perempuan-perempuan ini hadir dalam batasan-batasan yang secara hati-hati berusaha untuk tidak dilewati—tergantung kepada siapa mereka bicara.

Maka, perempuan dihadapkan pada dua ekspektasi yang saling bertentangan. Perempuan diharapkan menjadi sosok yang maskulin agar bisa dianggap dan dihormati. Namun, pada saat bersamaan, femininitas mereka diobjektifikasi. Sayangnya, dua ekspektasi ini diterima, diinternalisasi, dan digunakan oleh perempuan untuk menilai sesama perempuan di dalam scene.

Akhirnya, perempuan bernegosiasi. Dengan menyebut diri perempuan yang “berbeda” dan “tidak seperti perempuan lain”, mereka memvalidasi tempatnya sendiri sebagai perempuan di dalam scene yang seksis. Dengan menempatkan femininitas di dalam kategori “cewek rempong” dan menolak menjadi bagian dari kategori tersebut, mereka dapat mengklaim akses untuk diterima di dalam scene. Lihat saja bagaimana perempuan diperlakukan di sini, mungkin kamu bisa memahami pilihan yang logis tapi destruktif ini.

****

Walaupun pilihan ini adalah strategi ampuh untuk membuktikan keberadaan mereka di tengah dominasi laki-laki dalam scene, dimensi kuasa yang mengekang keduanya masih belum runtuh. Alih-alih melawan sistem yang tidak adil, sikap ini malah mendorong perempuan untuk bersekongkol dengan patriarki dan menjaga kapital sosial yang mereka dapatkan dengan susah payah melalui validasi dari laki-laki. Singkatnya, pilihan sulit itu dijaga terus supaya posisi kuasa mereka di dalam scene tak terganggu. Walaupun sebenarnya, pilihan tersebut telah menyudutkan mereka sebagai perempuan dan akan menjegal banyak perempuan lain yang ingin turut serta dalam scene.

Jelas terlihat bahwa musuh sesungguhnya bukanlah sesama perempuan di dalam scene. Di hadapan laki-laki yang selama ini sudah merasa memiliki otoritas atas scene, perempuan sama-sama dipertanyakan kredibilitasnya, direduksi menjadi obyek pemanis belaka, dan seringkali dianggap tidak lebih tahu dibandingkan mereka.

Contohnya gampang. Angkat tangan kalau pernah ada laki-laki yang bilang kepadamu: “Wah, jarang banget ada cewek dengerin [NAMA BAND] di sini” dan mereka benar-benar menganggap itu sebuah pujian, dan kamu diharapkan untuk merasa tersanjung. Pada akhirnya, tak ada gunanya kita menyalahkan satu sama lain alih-alih membentuk jaringan dukungan di saat kita semua sama-sama terhimpit.

Menyadari bahwa scene musik yang kamu suka turut berkontribusi melanggengkan seksisme dan bentuk-bentuk diskriminasi lain memang bukan hal yang mudah. Menciptakan scene yang lebih aman dan inklusif memerlukan upaya bersama baik dari penampil, audiens, promotor, venue, dan masih banyak lagi. Namun, bukan berarti mustahil menumbuhkan scene yang lebih inklusif. Tidak hanya inklusif bagi perempuan, namun juga minoritas lain seperti LGBTIQA, penyandang disabilitas, dan pecinta musik dari berbagai lapisan kelas.

Bagi Hera Mary, kerja sama dibutuhkan untuk mewujudkan scene yang lebih aman dan nyaman. “Tapi kerjasama enggak bakal terjadi kalau penyebaran informasi tentang empowerment enggak merata,” tuturnya. “Hal pertama yang perlu dilakukan adalah berbagi informasi–bisa dari mulut ke mulut, melalui forum, film, lirik lagu, dan lainnya. Scene musik kan besar banget, jadi mungkin orang-orang yang berperan di scene musik sendiri yang siap berperang menyebar informasi sedikit demi sedikit. Scene-nya nggak bakal nyaman kalau hanya beberapa orang yang bergerak, semua harus terlibat.”

Salah satu gerakan ini adalah kolektif Dipepi, yang diinisiasi oleh zinemaker Ika Vantiani. Kolektif ini ditujukan untuk siapa pun tanpa peduli gender, orientasi seksual, maupun peranan di dalam scene. “Menurut gue, gue cukup beruntung untuk bisa punya tribe sendiri di dalam scene ini yang membuat gue enggak pernah merasa tersingkirkan karena gender.” Ucap Ika. “Oleh karena itu, gue mendirikan collective house ini.”

Selain itu, perlu diingat bahwa etos do it yourself selalu bisa menjadi opsi untuk membuat suaramu didengar tanpa harus menunggu persetujuan dan validasi dari siapa pun yang merasa memiliki otoritas atas scene musik. Bagaimanapun, pelibatan dalam scene tidak sekadar berfokus pada angka maupun gender.

Gerakan do it yourself dimaksudkan untuk mengekspresikan gagasan dan kekuatan dari individu dengan beragam latar belakang dan tujuan. Keragaman yang dihasilkan dari do it yourself dapat melibatkan lebih banyak orang dalam scene dengan membuka percakapan mengenai hal-hal yang mungkin berada di luar gelembung informasi kita selama ini.

Pada akhirnya, perjumpaan dan pertukaran informasi inilah yang akan mendorong scene untuk maju melalui karya-karya yang menghadirkan perspektif yang beragam. (*)


[1] Comparative Youth Culture: the Sociology of Youth Subcultures in America, Britain, and Canada. Michael Brake (1985:163)

[2] One Chord Wonders: Power and Meaning in Punk Rock. Dave Laing (1985)

[3] Riot Grrrl zine (1992)

[4] Pretty in Punk: Girl’s Gender Resistance in a Boy’s Subculture. Lorraine Leblanc (1999)

*) Sempat berlalu-lalang di panggung punk sebelum menjadi pekerja media (sosial). Lebih sering marah-marah di Twitter dibandingkan menghabiskan waktu produktifnya membuat tulisan yang komprehensif.

 

Sumber: https://bit.ly/2WyFs4m

Sehatkah Kehadiran Industri Rokok dalam Musik?

oleh Argia Adhidhanendra*

Sponsor rokok semakin dominan di scene musik independen. Apakah hal ini baik bagi scene atau justru mematikan?

Sejak awal, industri rokok dan musik memang tak terpisahkan. Sejak era kejayaan LA Lights Indiefest hingga kini, paling tidak sebulan sekali (bahkan lebih) ada acara musik bersponsor rokok yang diselenggarakan. Perkembangan hubungan kedua industri ini layaknya seorang sugar daddy dan sugar baby yang sudah pacaran sejak tingkat pertama kuliah hingga hari ini, saat sang sugar daddy sudah paruh baya dan diakuisisi perusahaan multinasional dan sang sugar baby sudah bertambah dewasa. Perumpamaan ini saya dapat dari seorang narasumber anonim yang dekat dengan industri rokok.

Dalam tahun ini, dua acara yang saya organisir bekerja sama dengan industri rokok. Silakan mencap saya munafik, tapi saya sudah mendapatkan pengalaman langsung tentang cara kerja mereka. Sebagai perwakilan dari entitas yang baru saja membuka pintu pada rokok setelah lima tahun bekerja independen, saya kira saya memiliki insight yang cukup ekstensif atau paling tidak mewakili uneg-uneg entitas lain tentang kehadiran industri rokok dalam scene musik independen.

Berbicara tentang industri rokok adalah tabu tersendiri dalam scene musik independen. Entah saya yang ceroboh, tidak tahu konsekuensi apa yang terjadi setelah artikel ini terbit. Banyak red flag yang muncul sepanjang penulisan artikel ini. Dua narasumber memilih untuk anonim dan lebih banyak lagi yang bertanya-tanya apa tujuan saya menulis naskah ini.

Pertama-tama, saya ingin publik–dalam hal ini konsumen industri musik–tahu apa yang dilakukan industri rokok dalam ranah musik independen. Kedua, saya ingin entitas-entitas dalam industri musik, baik yang belum, yang sudah, bahkan yang sedang bekerja sama dengan industri rokok hari ini untuk tahu baik-buruknya kelindan antara industri rokok dengan musik independen.

Satu lagi yang ingin saya sampaikan: ini bukan hit piece untuk menggembosi industri rokok. Tak bisa dipungkiri bahwa industri rokok, for better or for worse, telah menjadi pondasi industri musik arus pinggir sejauh ini. Saya pribadi pun tidak sepenuhnya menolak masuknya industri rokok ke dalam scene musik, dan saya yakin banyak yang sependapat dengan saya. Saya hanya ingin naskah ini menjadi jeda yang pas bagi kita untuk mendiskusikan dampak jangka menengah dan panjang dari keterlibatan rokok di scene musik, dan nature dari hubungan tersebut.

Pergeseran Konsumen dan Siasat Industri

Dalam hubungan kedua industri ini, tentu konsumen yang paling diuntungkan. Bagaimana tidak? Tiket termahal hanya setara dengan satu slop rokok dengan bintang tamu mentereng (walau kita tahu yang mentereng di acara rokok bukan cuma bintang tamunya). Apa yang tidak disukai konsumen di sini? Saya yakin mayoritas konsumen merasa diuntungkan, asal mereka tidak terganggu dengan lampu neon yang membentuk huruf tertentu atau kehadiran SPG di acara. Namun, apakah benar begitu? Apakah konsumen tahu pertukaran yang harus direlakan untuk mencapai kenyamanan ini?

Pertama, rokok membuat acara bukan untuk keuntungan langsung, boro-boro balik modal. Aktivasi rokok, baik melalui konser biasa maupun tur Sembilan Negara yang dikonversi menjadi konten mahacanggih digunakan sebagai iklan untuk mendorong produk mereka. Tentu ini semua pengetahuan umum. Namun, bayangkan saja: sebuah festival terkini di bawah merek rokok tertentu mengundang dua band favorit saya, keduanya epitome anak shoegaze terkini, hanya dengan tiket yang dibanderol seharga 150 ribu rupiah. Sebagai konsumen, saya tentu senang bisa menonton kedua band tersebut dengan harga miring. Akan tetapi saya sebagai organizer (yang seringkali merugi), tidak habis pikir harga tiket bisa semurah itu.

Untuk mengetahui apa yang kita korbankan demi acara musik seperti ini yang kian menjamur, saya berbincang dengan seorang kawan yang memilih anonim. Saat ini, ia bekerja untuk industri rokok dan merasa cukup terganggu dengan tindakan industri rokok di scene musik independen lokal.

“Kalau ditarik ke belakang, di Indonesia rokok dan musik sudah lama banget kawin,” tutur kawan saya ini. “Asosiasi bahwa ngedengerin dan membuat musik itu dilakukan sambil merokok sudah dibangun sejak zaman pentas-pentas kecil di kampung. Mereka nge-bundling pentas musik dengan sebungkus rokok.”

Namun, seiring berjalannya waktu, promosi rokok melalui panggung-panggung besar musik mulai dibatasi. Aturan PP Nomor 109 Tahun 2012, misalnya, melarang perusahaan rokok menggunakan nama dagangnya saat mensponsori acara. Seperti yang dilaporkan oleh Tirto.id, di fase peralihan ini organizer acara skala besar yang tadinya bergantung pada dukungan dana rokok mulai berpaling pada sponsor dari bank. Pergeseran inilah yang mendorong sponsor rokok untuk mulai merevisi strategi pemasaran mereka dan mulai menyasar komunitas-komunitas musik independen yang skalanya lebih kecil.

“Komunitas musik sudah dipetakan sejak lama,” tutur narasumber saya. “Jejaringnya sudah terbangun dan ada pihak seperti FFWD Records di Bandung dan Aksara Records di zaman LA Lights Indiefest dan Dunhill yang buka jalan mereka masuk ke scene musik. Sementara, asosiasi antara musik dan rokok masih terbangun di masyarakat.”

“Hari ini, secara umum rokok berada di scene musik independen untuk mengembangkan dan mempertahankan brand character yang mereka imajinasikan. Mereka berharap scene ini bakal menjadi representasi dari brand rokok tersebut. Tujuannya apa? Ya, untuk bikin contoh bagi anak-anak yang lebih muda untuk mengasosiasikan hal yang sama dengan pendahulunya, bahwa musik itu ya harus sambil ngerokok.”

Akan tetapi, meskipun asosiasi antara rokok dengan musik sudah terbangun begitu erat di masyarakat, taktik untuk mempertahankan imaji itu tentu harus selalu disesuaikan dengan zaman. Ketika mereka bergeser ke konser-konser skala lebih kecil dan bekerja sama dengan kolektif yang tadinya independen, mereka pun berkompromi. “Sekarang kehadiran SPG, branding totem, dan bundling rokok dirasa sudah terlalu kasar buat jualan,” lanjut kawan saya.

“Beberapa perusahaan rokok sudah diakuisisi sama perusahan multinasional yang punya peraturan lebih ketat. Mereka merasa harus cari cara alternatif untuk berpromosi. Alternatifnya ya dengan targeted promotion, promosi langsung ke niche market. Melalui apa? Bisa bicara langsung lewat platform yang mereka miliki kayak GoAhead People, Siasat Partikelir, dan Together Whatever, bisa pinjam mulut brand ambassador, atau bisa lewat customer relationship management langsung melalui surel.”

“…taktik industri rokok bahkan menjurus ke monopoli industri.”

Tentu saja, pergeseran dalam strategi pemasaran ini membutuhkan data baru dan kawan-kawan baru untuk membantu mereka menghimpunnya. “Mereka jadi butuh teman-teman di scene musik untuk membantu mereka profiling niche market mereka dan ngegendutin data market mereka. Dapatnya dari mana? Ya, dari aktivitas yang lo lakukan dengan mereka di acara. Jadi media partner, jadi BA, dan lainnya. Audiens lo dan teman-teman lo di-profiling dan entah kamu kerasa atau enggak kamu sudah terpapar promosi produk rokok tersebut.”

Kawan saya sendiri skeptis bahwa taktik ini akan berhasil di jangka panjang dan menghasilkan dampak yang sustainable. “Secara angka, mass media dan mass event lebih punya impact ketimbang event skala kecil. Kalau ada yang keukeuh bahwa ini ada impact­-nya, kayaknya mereka belum bisa membuktikan. Masih perlu kajian lebih jauh dan strategi yang lebih tepat sasaran lagi. Scene independen jadi kelinci percobaan, sih. Eksperimen untuk cara pemasaran baru. Good luck saja buat kedua pihak.”

Bagi saya, pernyataan tadi membuka begitu banyak faktor yang bermain dalam peranan industri rokok di ranah musik independen. Publik dalam scene menjadi sapi perah bagi industri rokok. Mereka diakui sebagai niche market bagi industri rokok, sebagai konsumen dan penajam brand character hanya karena konsumen tersebut tertarik menonton artis yang tampil di acara garapan sponsor rokok tertentu.

Jika mau berbicara tentang penggunaan data mereka, maka saya dapat menulis tiga sampai empat artikel lagi. Namun, yang menarik dari ucapan kawan saya ini adalah bagaimana semua ini hanya eksperimen. Sehingga bukan tidak mungkin beberapa tahun lagi kita akan bertemu dengan aktivasi rokok dalam bentuk lain.

Tentu, cocok tidaknya motivasi industri musik dengan kehendak kita sebagai scenester kembali pada preferensi masing-masing. Yang ingin saya soroti adalah bagaimana kita sebagai audiens telah memungkinkan hubungan yang eksploitatif ini. Secara tidak sadar, kecintaan kita pada musik telah mendorong industri yang paling tidak seksi di dunia.

Berpikir Jangka Panjang

Selesai mengupas motivasi mereka, saya ingin memutus argumen bahwa mereka menunjukkan dukungan kepada entitas dalam musik independen (biasanya dengan uang tunai). Untuk mendapat pandangan lebih luas, saya berbincang dengan senior-senior saya dalam scene musik independen dan industrinya.

Ekrig adalah salah satu individu di balik 630 Recordings–label yang menaungi artis seperti Eleventwelfth dan pernah memboyong artis internasional seperti Protomartyr, A Place to Bury Strangers, serta Fazerdaze ke Indonesia. Pada gelaran Protomartyr, ia bekerja sama dengan lembaga yang bertautan dengan rokok. Ia memiliki posisi yang cukup kritis terhadap keterlibatan rokok di scene musik independen.

Saya berbincang cukup lama dengan beliau, ironisnya di acara yang disponsori rokok. Baginya, rokok “enggak benar-benar peduli dengan industri musik.” Ia berpendapat bahwa aktivasi yang mereka lakukan terlalu kasar dan hanya menjadi cara untuk memerah data. Dari sudut pandang organizer, Ekrig menilai bahwa ia dan banyak organizer mandiri lain yang bersusah payah mendatangkan artis dengan perhitungan “balik modal saja sudah untung”, tiba-tiba harus bersaing dengan acara rokok yang bermain di kolam yang sama dan peduli setan soal untung-rugi. Yang ada di pikiran mereka hanya konten apa yang menarik orang paling banyak dengan harga termurah.

Tindakan ini, menurut Ekrig, bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, industri rokok menggelontorkan dana tinggi untuk rekaman, konser, bahkan tur. Taktik ini jelas menguntungkan pihak band. Namun, praktik acara rokok dengan harga tiket luar biasa miring–bahkan gratis sepenuhnya–berpotensi mematikan atau bahkan meminggirkan kolektif dan organizer independen. Tentu, skenario mimpi buruk tersebut punya implikasi yang menggelitik: ketergantungan penuh pada sponsor rokok dalam segala lini.

Akan tetapi, saya jadi berpikir, jika entitas independen memutuskan untuk menyerah atau terdorong keluar dari industri karena dihabisi oleh rokok, apakah itu sehat? Jika mereka hanya bisa melakukan konser skala studio gig atau baru bisa melaksanakan acara dengan skala medium atau besar dengan dana rokok, apakah itu sungguh-sungguh bisa dibilang “dukungan”?

Jika entitas-entitas yang bekerja di level akar rumput ini tidak ada lagi dan komunitas yang mereka wakili sudah terpencar, ke mana rokok akan mendorong band yang mereka dukung? Apakah band-band ini akan bermain eksklusif untuk acara brand activation mereka? Di sini, saya rasa kita mulai bisa melihat betapa konyol dan kontradiktifnya premis dari taktik industri rokok yang bahkan menjurus ke monopoli industri.

“Sebagai pelaku industri, kita perlu cermat melakukan give and take dan, yang terpenting, tidak tergantung pada dukungan industri rokok.”

Satu sentimen yang lebih ekstrem digaungkan oleh kawan saya yang menjadi head honcho sebuah organizer sekaligus label tapi memilih untuk anonim. “Intinya sih, gue enggak mendukung uang dari rokok sama sekali karena mereka selalu jualan bahwa mereka dukung youth movement and culture, tapi mereka encourage anak muda untuk ngerokok. Menurut gue itu kontraproduktif,” ujarnya.

“Mereka enggak akan pernah benar-benar peduli dengan apa yang kita kerjakan. Mereka cuma peduli angka, data, dan statistik. Banyak anak-anak di bawah umur yang kerja di kebun-kebun tembakau. Jadi kadang, gue merasa guilty saja kalau gue terlibat dalam apapun yang melanggengkan itu.” Poin final dari kawan saya ini adalah implikasi yang jarang kita perhatikan. Secara tidak sadar, kita mengamini brand message mereka dan apa yang mereka wakilkan sebagai industri. Kita memberi angin bagi industri yang memiliki catatan hitam eksploitasi terhadap pekerja anak.

Sentimen kawan saya ini memang cukup mulia dan tidak umum dalam industri, tapi keberadaannya harus diakui. Sebagai publik, kita telah mengamini brand message mereka tidak hanya dalam konteks acara tertentu, tapi dalam apa yang mereka lakukan secara keseluruhan. Karena kecintaan kita terhadap musik, kita telah membiarkan industri rokok menjadi bohir, menjadi sugar daddy bagi industri musik.

Relasi Kuasa yang Timpang?

Sekarang kita meninjau praktiknya. Saya telah menjalin kerja sama dua kali dengan industri rokok sejauh ini, angka yang amat mungil bila dibandingkan kawan-kawan saya di entitas lain yang sudah bertahun-tahun dan lusinan acara dengan industri rokok. Saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa saya bukan sepenuhnya menentang kehadiran industri rokok dalam musik, melainkan khawatir dengan sustainability dari praktik-praktik yang sedang dijalankan saat ini.

Selepas kerja sama, saya merasa gamang. Satu brand menunjukkan tingkat legalitas yang tinggi. Saya merasa sedang berbisnis dengan perusahaan multinasional. Sementara di brand lain, saya mendapat perlakuan yang tidak jelas dan praktik tanpa kontrak, hanya gentleman’s agreement tanpa hak dan kewajiban yang jelas. Namun, saya berhasil bernegosiasi agar branding mereka di acara saya tidak gila-gilaan. Puji syukur, gelaran saya bebas dari lampu neon dan SPG.

Berdasarkan pengalaman saya, pada akhirnya mereka cukup dermawan dengan dana yang digelontorkan. Saya jadi sepemahaman dengan ungkapan Ekrig bahwa pelaku industri musik sekarang harus memanfaatkan “dukungan” rokok dengan baik. “Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana caranya para pelaku industri musik bisa mempergunakan peluang yang dihadirkan oleh industri rokok tanpa kehilangan diri mereka sendiri,” tuturnya.

Pelaku industri musik skala kolektif kecil hingga korporat sekalipun bisa bekerja sama dengan industri rokok karena mereka akan dengan senang hati mengambil hampir semua kesempatan yang ada. Ingat, hampir semua festival musik tahunan papan atas di negeri ini masih ditempeli branding rokok. Jika itu tidak cukup untuk menggambarkan hubungan industri musik dengan rokok, entah apa yang bisa. Sebagai pelaku industri, kita perlu cermat melakukan give and take dan, yang terpenting, tidak tergantung pada dukungan industri rokok.

Rasanya, mustahil bagi musik independen untuk terbebas dari industri rokok, setidaknya dalam waktu dekat. Namun, pada satu titik, hubungan antara sugar baby dan sugar daddy-nya ini perlu dievaluasi ulang secara seksama. Kedua industri ini memperlakukan satu sama lain sebagai sapi perah. Meski dalam relasi kuasa ini, apakah posisi tawar mereka setara tentu dapat dipertanyakan lebih jauh lagi.

Hingga kini, industri rokok sebagai sang sugar daddy masih menganggap musik sebagai lahan yang menguntungkan. Namun industri musik, seperti kebanyakan sugar baby, perlu bertumbuh dewasa. Kita akan menua dan tak lagi segar dan sang sugar daddy pun dapat meninggalkan kita bagi sugar baby yang lain. Industri kreatif bukan hanya musik dan industri rokok juga telah bereksperimen dengan memberi sokongan dana bagi pameran seni rupa maupun acara sastra. Siapa yang bisa menjamin bahwa dukungan industri rokok di musik akan terus bertahan? Saya pesimis model kerja seperti ini dapat sustainable dalam jangka panjang.

Jangankan beranjak dari industri musik, jika industri rokok memutuskan untuk berganti model, apa konsekuensinya? Dengan model ini saja, entitas seperti organizer, content creator, media musik, dan musisi praktis bergantung pada dukungan rokok. Jika industri rokok menemukan strategi pemasaran lain atau bahkan angkat kaki sepenuhnya dari industri musik, apa yang bisa mereka lakukan? Lebih jauh lagi, apa yang bisa kita lakukan sebagai publik?

Mungkin, akhirnya kita akan berpisah dengan lampu neon dan SPG. Namun, kita juga bisa kehilangan kolektif dan acara yang mungkin tidak dibuat oleh rokok, tapi menerima dukungan rokok secara tidak langsung. Dalam relasi kuasa yang timpang ini, risikonya tentu lebih berat bagi satu pihak ketimbang pihak lainnya.

Jika skenario ini terjadi, lantas apa yang harus dilakukan? (*)

*) Argia Adhidhanendra. Salah satu inisiator Noisewhore, zine dan kolektif yang telah mendatangkan berbagai band internasional seperti Peach Pit, Fazerdaze, dan Unknown Mortal Orchestra.

Menggugat Maraknya Gelaran Musik di Jakarta

Oleh Argia Adhidhanendra*

Semakin banyak band luar negeri datang ke Jakarta untuk konser skala kecil. Namun, apakah ini perkembangan yang baik?

Bisa dibilang, 2018 merupakan tahunnya gelaran musik di Indonesia, khususnya Jakarta. Scene Ibukota seolah kebanjiran musisi lintas genre dari luar negeri, mulai dari grup indie pop hingga hardcore. Saya pun tidak luput dari keramaian ini. Mungkin kolektif yang saya ikut dirikan, noisewhore, adalah tersangka utama dalam perkembangan ini, dengan total enam acara kami adakan hingga Oktober. Maka, saya berada dalam posisi yang unik. Kolektif yang saya lahirkan sejak SMA dan rutin membuat acara sejak 2015 terlempar ke sebuah skala yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Perkembangan noisewhore yang cukup unik mengekspos duduk perkara pagelaran musik dengan jelas. Anggap saja tulisan ini sebagai crash course tentang pagelaran yang membanjir di Jakarta tahun ini dari pandangan seseorang yang tahun lalu masih membuat acara bawah tanah di bilangan Blok M dan tahun ini membuat enam acara sekaligus dalam skala internasional.

Saya harus memulai dengan mengenalkan para pelaku “promotor” yang bekerja di Jakarta hari ini. Pertama, tentunya ada korporasi yang selalu bernaung di industri mana pun dengan ambisi megah serta marketing yang mahacanggih. Pelaku semacam ini rasanya tak perlu dijelaskan lebih lanjut. Kedua, mahasiswa. Saya pribadi pernah melewati fase ini. Teman dan rekan duet saya di noisewhore, Abdul Defashah, juga pernah menjabat sebagai ketua penyelenggara Music Gallery #7 yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dengan bintang tamu termasyhur, Honne.

Sebagai mahasiswa, saya tergelitik mengatakan hal ini untuk seluruh mahasiswa perguruan tinggi yang hari ini sedang berlomba-lomba membuat pagelaran musik: Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Saya rasa tidak pantas jika kita sebagai mahasiswa lalai akan tiga poin ini dan malah berlomba-lomba, bahkan berebut mengundang artis yang itu-itu saja. Sebagai pembanding, saya rasa hanya di Indonesia saja, khususnya Jakarta, yang memiliki satu perguruan tinggi dengan setidaknya tiga (!!!) festival yang memiliki ambisi sama. Ketiga, pemain terakhir adalah tren terbaru dalam scene musik lokal, promotor kecil-kecilan.

Kurasi atau Tren? Menggugat Klaim “youtube-core

Terlepas dari aksi korporasi besar yang memang sudah kita ketahui bersama gelagatnya, dua pelaku yang saya sebut terakhir adalah penyebab menjangkitnya gelaran musik saat ini. Tipikal musik yang mereka kurasi membawa saya pada “genre” yang paling membuat saya bergidik: youtube-core.

Akan tetapi, mari kita perjelas sesuatu di sini: orang yang melabeli sesuatu sebagai youtube-core adalah orang yang sembrono. Kita bisa mengakui munculnya “genre” atau subkultur semacam youtube-core, tapi istilah itu sendiri mulai digunakan sebagai label payung untuk menyindir band-band dengan style indie pop imut (meski tidak harus indie pop) dan estetika throwback yang terkenal akibat algoritma YouTube dan media sosial. Oleh karena itu, saya akan mencoba menghindari menggunakan istilah tersebut untuk melabeli band-band yang didatangkan oleh para organizer konser mahasiswa dan promotor kelas mini.

Satu hal perlu kita akui bersama dengan khidmat: kurasi pagelaran musik hari ini merupakan fenomena groupthink terbesar dari generasi muda Jakarta dalam beberapa tahun belakangan.

Jika diurut kembali, rasanya saya bersama dua kolektif lain harus mengaku bersalah sebagai salah satu faktor pendorong adanya groupthink kurasi musik internasional hari ini. Pangkal bermulanya fenomena ini rasanya bisa kita atribusikan pada konser Fazerdaze yang diselenggarakan noisewhore pada Oktober 2017. Kasus Fazerdaze merupakan pendorong utama karena konser itu adalah awal mula konser independen yang sama sekali tidak mengandalkan sponsor ataupun campaign yang wah. Sumber pemasukan konser Fazerdaze pun murni mengandalkan penjualan tiket yang saat itu sold out dalam empat hari.

Dari sini, fenomena ini dikonfirmasi oleh gelaran saya sendiri dengan headline Peach Pit dan Sunset Rollercoaster serta Musik Gallery yang diselenggarakan pada bulan yang sama. Setelah itu, kita rasanya dibanjiri oleh pagelaran musik. Pemain lama dan baru mulai melirik potensi kurasi musik seperti ini dengan artis headline yang bisa dibilang kecil dan rasanya terlalu niche untuk dapat berkembang di sini. Hasilnya, kita bisa melihat kurasi dengan jenis musik serupa dieksploitasi habis-habisan.

Publik konser lokal mulai kebanjiran pilihan dan jumlah konsumen pun bertambah. Sayangnya, perkembangan ini tidak didampingi dengan edukasi yang tepat. Banyak penonton yang biasanya menyaksikan We The Fest atau menonton headline show band cover di kafe dingin dengan sofa nyaman atau bahkan yang belum pernah menonton konser sebelumnya diteleportasi ke venue seperti Viky Sianipar Music Centre atau Rossi Musik. Komunitas yang tadinya tight-knit berkembang secara eksponensial. Perkembangan ini disambut meriah oleh banyaknya pemain baru yang oportunis, meskipun penonton yang ada bisa dibilang masih volatile perilakunya. Karena kondisi ini, masa depan pagelaran musik internasional terbilang cukup suram.

Pemain-pemain baru ini melihat ladang basah, tapi memiliki praktik bisnis yang patut dipertanyakan, terutama dalam ranah bidding war untuk berebut artis. Saya tidak akan terlalu mengkritisi kurasi yang ada, baik dari festival yang menarik penonton dengan band lokal yang wah karena headliner yang mereka boyong dari luar negeri dirasa kurang menarik penonton, hingga headline show yang dari awal dirasa tidak akan sesuai dengan iklim lokal. Ini semua hal yang relatif dan untuk menganalisis hal seperti ini perlu banyak sekali responden.

Membayar Terlalu Layak

Hal yang faktual saya lihat langsung adalah praktik bisnis yang berakibat pada menanjaknya harga artis-artis yang kita semua tahu jenisnya. Mulai dari announcement bodong artis Korea Selatan untuk festival di Bandung hingga bidding war bodong juga.

Saya memiliki satu anekdot paling berkesan tahun ini dengan orang yang sama. Pertama adalah keterlibatan saya dalam bidding war untuk suatu band. Setelah satu minggu bidding war dengan lawan yang saya tidak ketahui namanya saat itu, saya memutuskan mundur. Kilas cepat ke malam final Liga Champions, pada pukul 1 malam, saya sedang mengenakan baju merah-merah, jantung saya tak henti-hentinya berdegup (nantinya malam ini saya menangis, tapi itu pembahasan lain) saat tiba-tiba ponsel berdering. Awalnya hanya ada satu baris chat dari orang yang tak saya kenal via LINE. Ia memperkenalkan diri sebagai perwakilan dari kolektif baru dan butuh berbicara dengan saya lewat telepon. Agak lancang rasanya untuk saya yang sedang berdebar-debar di malam final Liga Champions, tapi siapa tahu penting. Betapa terkejutnya saya saat menerima telepon dari lawan bidding war selama ini!

Ia menanyakan teknis-teknis dasar dalam menawar artis (padahal ini pengetahuan dasar: cukup Google nama agensinya dan Anda email bolak-balik hingga muak) dan saya menjawab segala pertanyaan hingga muncul pertanyaan dari beliau perihal uang. Alamak, ternyata orang yang bersangkutan, yang baru saja memenangkan bidding war dengan saya, tidak memiliki uang untuk membayar artisnya. Ia bahkan bertanya bagaimana cara ia kabur dari agensi artis yang bersangkutan.

Saya mungkin tidak sedang berpikir lurus karena sebentar lagi Mohamed Salah akan dibanting oleh makhluk paling bajingan di dunia ini, tapi saya paham bahwa sebagai promotor Anda tidak boleh bid and run dengan artis mana pun.

Percakapan diselesaikan dengan saran saya untuk tidak bid and run dan supaya ia mencari cara lain. Betul saja, besoknya agen band bersangkutan mengirimkan surel dengan harga terbaru, menerangkan bahwa bid kemarin ternyata bid kosong. Saya yang terlanjur muak menolak tawaran itu. Untungnya, band ini tetap datang ke Indonesia. Walau harus dengan harga yang tidak murah dan menurut saya, pihak bersangkutan, senada dengan tren yang berjalan saat ini, overpaying band tersebut.

Perlu dicatat, jika ada band yang dibayar mahal, saya senang bukan kepalang, terlebih band kecil yang datang jauh-jauh dari benua lain. Akan tetapi, pertanyaan selanjutnya ada pada sustainability bisnis lokal yang ada di sini. Bagaimana tidak–korporasi, terutama rokok, sudah tertarik, pemain yang sembrono juga sudah ada di lapangan. Jika korporasi dan pemain baru ini mulai menarik band-band internasional skala kecil itu dan sibuk overpaying, seperti apa nasib promotor-promotor kecil yang sudah berjalan bertahun-tahun? Lebih jauh lagi, bagaimana nasib ekosistem tur ini ketika mereka merasa tren tersebut telah surut?

Masih ada contoh booking agent yang konsisten dalam jalurnya, tanpa mesti latah mengikuti tren. Teuku Fariza, misalnya. Ia adalah orang di balik BNA Youth Booking yang berperan sebagai boutique booking agent yang berakar pada scene hardcore dan punk. Setelah berjalan sepuluh tahun, ia memiliki pandangan lebih positif dan sikap yang jelas. “Empat tahun terakhir saya lumayan pemilih soal artis yang akan saya bawa,” tuturnya. “Kalau band itu bisa bikin mulut kami menganga, lebih besar kemungkinan saya menjajaki mereka.”

Dengan mantra seperti ini, BNA Youth Booking bisa terus konsisten. Bukti bahwa mengikuti tren bukan satu-satunya jalan untuk terjun ke bisnis. Fenomena booking agent dengan selera stereotip youtube-core juga bukan hal yang unik. Teuku enteng-enteng saja membahas sindiran/candaan bahwa kurasi artis BNA terlalu berfokus pada artis-artis dengan gaya roster Run for Cover Records.

Teuku belum pernah mengalami kejadian absurd semacam yang saya alami di malam nahas tersebut, tapi ia mengakui kejadian semacam ini ada. BNA sendiri pernah di-outbid dua kali oleh booking agent lain. Akan tetapi, ekosistem di segmen hardcore/punk lebih sehat karena fenomena bidding war dan perebutan artis tidak begitu kentara, meski tidak sepenuhnya absen. Bagi Teuku, jika suatu entitas konsisten dan memiliki orientasi jangka panjang, komunitas dan segmentasi akan terbentuk terlepas dari kurasi yang disajikan. Hal inilah yang kemudian menjadi kunci sustainability.

Memilah Pengaruh

Akar dari isu yang coba saya sampaikan di sini adalah kurasi. Pemain-pemain kampus dan promotor-promotor ceroboh ini seakan melihat lahan basah dengan memilah band yang viral. Dalam sebuah obrolan, kawan dari Microgram Entertainment bahkan sempat “menyalahkan” saya karena banyak band medioker luar negeri datang ke Indonesia setelah Noisewhore Live membawa Sunset Rollercoaster dan Peach Pit. Tentu, candaan ini relatif. Band tertentu bisa jadi medioker bagi sebagian orang, tetapi jadi favorit bagi orang lain di luar sana.

Semua ini mengingatkan saya pada era tahun 2010-2012 ketika Urbanite, Soundsations, dan bahkan Ismaya Live memboyong artis seperti MGMT dan Ben Folds dengan venue andalan Bengkel Night Park. Saat itu saya mungkin baru lulus SD, tetapi gaungnya terdengar sampai ke telinga bocah ingusan seperti saya. Tahun 2018 dan tahun-tahun berikutnya rasanya akan sama seperti fase 2010 hingga 2012, bedanya dengan kurasi yang (mungkin) lebih medioker. Jika di tahun 2011 kita menikmati MGMT, Ben Folds, Warpaint, N.E.R.D dan The Whitest Boy Alive, tahun ini kita disuguhi beragam festival (yang sebagian mungkin dipaksakan) dan beberapa headline show skala kecil hingga menengah.

Saya mengambil data dari satu festival dan dua headline show tahun ini dan dari segi finansial, hasilnya beragam. Ada satu festival dengan headline yang bisa dibilang viral merugi besar, sama dengan satu headline show baru-baru ini yang cukup merasakan kerugian signifikan. Di sisi lain, ada pula headline show tanpa sponsor dua bulan silam yang meraup keuntungan sangat besar hanya dari penjualan tiket.

Di sini saya mencoba untuk merasionalisasikan proses bisnis dari ketiga gelaran yang saya sebutkan tadi. Ketiganya memamerkan artis yang cukup viral sebagai headline festival ataupun headline show. Ketiga gelaran ini terjadi di tahun 2018, tapi kenapa hasilnya berbeda secara keuangan?

Muncul faktor yang menurut saya paling krusial dalam mendatangkan artis-artis viral seperti ini: harga yang tidak bisa diprediksi dan pola pikir organizer lokal. Booking fee artis-artis yang viral seperti ini sangat sulit diperkirakan. Coba suruh para analis sekuritas top untuk memvaluasi harga band-band seperti Boy Pablo atau Billie Eilish, saya cukup yakin dari lima valuasi paling tidak ada dua yang salah.

Maka, di tengah pasar yang masih sangat volatile ini, tidak heran kedua headline show yang saya sebut di atas menuai nasib berbeda. Bagaimana tidak, salah satu headline show tersebut membayar tiga kali lipat booking fee bila dibandingkan gelaran sebelah, walaupun kelas artisnya sama. Promotor kecil di sini seakan menjadi mainan agensi di luar negeri untuk menentukan harga di pasar Asia. Saya rasa, sudah ada terlalu banyak festival di sirkuit konser lokal, sehingga jika jumlahnya berkurang barangkali nilai dari masing-masing festival akan bertambah. Tapi, sayang sekali jika gelaran headline show skala kecil-menengah berkurang drastis jumlahnya akibat pengambilan keputusan bisnis yang ceroboh.

Saya yakin di luar sana masih banyak promotor kecil yang sedang dilahirkan, mungkin beberapa membaca artikel saya sambil meeting dengan investor untuk mendatangkan artis ke Indonesia. Atau mungkin, artikel ini dibaca beberapa pemain lama yang mencoba kembali ke dalam gelanggang. Satu hal yang jelas, gelaran-gelaran musik akan terus membengkak. Apa yang coba saya serukan di sini adalah bagaimana kita sebagai promotor maupun penonton berhasil menciptakan budaya dengan gelaran musik rutin. Saya pun senang bukan kepalang bisa menikmati budaya ini di tahun 2018, baik sebagai penonton maupun organizer.

Sehingga rasanya saya perlu menyerukan pentingnya gatekeeping. Dengan memperbanyak diskusi dan riset, kita dapat meminimalisir groupthink dari segi kurasi. Diskusi dan riset yang saya maksud bukan semata-mata untuk menggali selera penonton lokal, melainkan juga merotasi kurasi artis yang akan disajikan sehingga konsumen tidak terekspos pada jenis musik yang itu-itu saja.

Dari segi bisnis, saya ingin menyerukan pada promotor baru atau lama, dan bahkan pemain-pemain acara kampus, untuk berhenti sikut-sikutan. Seringkali pengambilan keputusan sembrono ini berawal dari bidding war. Jika kita sedang berebut artis tier agak tinggi semacam Kings of Convenience, mungkin praktik semacam ini terbilang wajar. Akan tetapi, jika kita memperebutkan artis viral yang segmentasi konsumennya masih dipertanyakan dan gelaran itu sendiri sudah berisiko, seringkali ujungnya kita hanya akan merugikan salah satu pihak.

Akan menarik untuk melihat perkembangan gelaran-gelaran ini dalam beberapa tahun ke depan. Saat terbitnya artikel ini, noisewhore sendiri hanya akan mengadakan satu gelaran lagi di tahun ini dan akan vakum menyelenggarakan headline show sampai tahun depan, setidaknya. Hal ini akan memberikan perspektif penonton yang lebih fokus. Setelah itu? Mungkin premis yang saya beberkan di naskah ini perlu kita telusuri lebih lanjut. (*)

*) Argia Adhidhanendra. Salah satu inisiator Noisewhore, zine dan kolektif yang telah mendatangkan berbagai band internasional seperti Peach Pit, Fazerdaze, dan Unknown Mortal Orchestra.

 

Sumber: https://bit.ly/2RqTEbF

Ajakan Genting bagi Scene Musik Lokal

Oleh Argia Adhidhanendra*

Dalam beberapa tahun ke depan, scene musik kita tidak bisa terus bergantung pada sponsor. Lantas harus apa?

Dua artikel yang saya tulis dalam beberapa bulan terakhir di Ruang rupanya cukup dibicarakan oleh orang-orang dalam maupun luar industri musik independen, sekaligus memantik beberapa konflik. Memang penting untuk memberikan perhatian terhadap isu organizer dan booking agent yang sembrono, terlebih lagi peran rokok dalam scene musik dewasa ini. Namun, saya rasa ada yang kurang dari kedua naskah tersebut.

Isu yang paling melibatkan orang banyak di scene lokal adalah perihal hubungan kita sebagai pelaku industri musik independen dengan sponsor rokok. Ada dua respon yang paling umum saya terima setelah naskah tersebut dilansir. Antara “gue lega ada yang berani ngomong ini ke publik” atau “kalau begitu kita tarik saja sponsor non-rokok ke scene.”

Tanggapan-tanggapan tersebut tentu sangat saya hargai. Apalagi banyak tanggapan “lega” diungkapkan pada saya oleh orang-orang yang digaji oleh korporasi rokok. Jika orang-orang yang peduli dengan keberlangsungan scene meski digaji rokok saja sudah bilang begitu, artinya isu ini memang sudah sepenting itu. Namun, tanggapan yang justru menarik adalah panggilan untuk membuat scene menarik bagi sponsor non-rokok. Apakah benar ini solusi yang memungkinkan?

Ranah yang Ampas

Persoalannya, jika memang ini jalan yang paling ideal dan bisa dilakukan, kenapa saya tidak melihat ini sepanjang bergelut dalam industri musik independen? Ada alasan yang jelas kenapa kita tidak melihat korporasi selain rokok menjamur di ranah musik independen: kita tidak marketable.

Saya yakin materi musik yang diusung musisi arus pinggir lebih berani secara artistik ketimbang karya musisi yang mendapat brand deal dari merek-merek ternama. Saya yakin acara yang diusung oleh kolektif-kolektif akar rumput lebih tulus dan matang dibanding acara kampus atau pemain-pemain lain yang lebih fokus pada uang dan kehendak warganet untuk mendatangkan artis paling trendy dan viral. Yang menjadi pembeda di sini adalah band maha tenar dan acara bermodal tinggi itu, pada prinsipnya, bersifat komersial. Komersialisasi ini bisa dilatari oleh banyak hal. Kebutuhan untuk pengakuan dari publik, fakta bahwa karya mereka mungkin sudah stagnan bagi komunitas tertentu, dan terakhir, tentu karena ingin terkenal dan kaya.

Lantas, kita ini apa jika bukan komersil? Saya merujuk kembali pada pembaca Ruang yang rata-rata punya kolektif sendiri, atau punya band yang sedang mengumpulkan uang untuk rekaman. Terus terang, kita ini ampas. Ampas yang keras kepala untuk tidak mengubah aspek-aspek tertentu dalam pergerakan atau luaran artistik kita, penuh dengan circle jerk dan pergaulan yang tight knit.

Namun, jangan GR atau salah paham. “Ampas” yang saya maksud bukan berarti budaya tanding yang heroik, melainkan dalam artian yang sebenarnya. Selayaknya ampas, scene musik independen selalu padat dan di bawah tanpa diterima oleh banyak orang. Mereka ada di tiap daerah, dalam berbagai subgenre di tiap sudut kita mencari dan menikmati musik.

Jurang antara industri yang komersial dengan ampas ini pernah saya buktikan dengan pengalaman pribadi. Pada salah satu acara yang diusung Noisewhore tahun ini, sempat ada korporasi besar yang ingin mendukung dengan memberikan barang dan uang. Sebetulnya untuk skala korporasi tersebut, jumlah yang ditawarkan sangat kecil. Namun, saya kepalang kaget bahwa acara yang saya usung bisa ditengok korporasi sebesar itu yang notabene bukan dari industri rokok. Penasaran dan butuh uang (walau akhirnya saya tetap rugi), saya mengiyakan dukungan mereka.

Seminggu sebelum hari H, mereka membatalkan kerja sama tersebut. Alasannya penonton yang telah membeli tiket dan skala acaranya dianggap terlalu kecil bila dibandingkan dengan komitmen yang disepakati di awal. Acara tersebut pun dianggap tak sesuai dengan key performance indicator mereka menyangkut eksposur media sosial yang ditawarkan–walaupun sejak awal saya telah menegaskan bahwa saya tidak ingin poster acara cemong dengan logo sponsor, dan eksposur baru saya beratkan di hari H acara.

Kita tidak perlu menghujat korporasi “serakah” semacam ini. Anekdot ini saya kisahkan karena saya ingin menunjukkan gejala umum entitas do it yourself (DIY) yang membuat kita tak bisa berharap banyak dari korporasi, apapun bidangnya. Secara prinsip, saya yakin penggiat DIY atau paling tidak entitas yang waswas dengan kehadiran industri rokok akan bergidik jika mengetahui standar asli exposure dan target asli korporasi dalam suatu event atau dalam memasarkan suatu produk via ambassador dan endorsement. Belum lagi urusan legal dan paper work beserta dengan pola kerja yang kaku, antitesis dari pola kerja DIY yang luwes dan terdesentralisasi.

Lantas, mengapa rokok terus bermain di scene musik? Sederhananya, mereka sedang memberikan uang gratis. Secara legal, perusahaan rokok menghadapi beban yang beratnya bukan main, yakni PP No. 109 tahun 2012. Dari aturan ini, kita bisa melihat sebobrok apa industri rokok kita. Menurut Pasal 36 dalam PP tersebut, kegiatan yang disponsori rokok pada hakikatnya tidak boleh menggunakan merek dagang dan logo produk tembakau, termasuk brand image produk tersebut. Kegiatan tersebut juga tidak boleh bertujuan mempromosikan produk tembakau. Ayat kedua pasal ini menjadi poin paling bombastis: kegiatan yang disponsori produk tembakau tersebut tidak boleh diliput oleh media.

Memangnya, komunitas atau pasar mana yang paling mudah dipenetrasi tanpa bantuan media resmi dan arus utama? Di komunitas mana kah sebuah korporasi bisa membuat “media” gadungan dengan mudah yang membawa embel-embel kolektif? Wajar saja kita melihat kemunculan media tiba-tiba besar yang diam-diam dimiliki oleh industri rokok. Kita bisa menoleh ke arah Frekuensi Antara, Siasat Partikelir, DCDC, dan segudang media lain yang mungkin belum dirilis ke publik, tapi akan tiba-tiba trendy dalam beberapa bulan saja. Kita juga melihat kolektif gadungan hasil proyek brand ambassador rokok yang tahu-tahu gede, acara bersponsor rokok yang membanting harga tiket, atau malah gratis sama sekali.

Kita tidak bisa mengharapkan perlakuan semacam itu dari industri selain rokok. Industri lain tidak perlu dan tidak punya insentif untuk melakukan penetrasi sampai ke ranah komunitas. Kelindan antara rokok dan scene yang terjadi sekarang adalah imbas dari kondisi spesifik industri tembakau kita. Sederhananya, rokok melakukan semua ini karena mereka tidak punya pilihan lain. Demografi yang paling seksi dan paling menerima mereka adalah kita, para anak muda kreatif penggiat musik.

Saya harap, sejauh ini saya telah menggarisbawahi poin bahwa scene musik independen tidak marketable bagi korporasi selain rokok. Kalaupun kita menginisiasi kerja sama dengan mereka, hasilnya tetap tak akan sustainable di jangka panjang. Setelah menggagalkan asumsi ini, pertanyaan selanjutnya adalah: lantas mau bagaimana? Model bisnis seperti apa yang harus kita tekuni secara kolektif?

Mengapa Berserikat?

Gambaran global dan zeitgeist musik populer hari ini memang tidak terlalu baik. Banyak media dan label yang gulung tikar atau diambil alih korporasi. Namun, jika kita melihat lebih dalam, banyak titik cerah yang bisa kita imitasi dan tekuni. Saya ingin menyorot geliat pelaku di Britania Raya, termasuk publikasi yang saya kagumi: Gold Flake Paint. Blog asal Skotlandia tersebut telah eksis cukup lama dan mendapat apresiasi tinggi dari publik. Tahun ini mereka berhasil meluncurkan A Music Journal, publikasi fisik independen dengan metode pre-order untuk menyokong percetakan yang mereka lakukan di isu perdana. Hasilnya? Terjual habis. Kopi dari publikasi ini dijual mulai dari Bandcamp hingga Rough Trade.

Perlu diakui bahwa Skotlandia lebih dekat dengan zeitgeist musik independen global dibanding Indonesia, dan materi publikasinya pun tidak main-main. Mitski didapuk menjadi artis di sampul, dan edisi perdana Gold Flake Paint berisi wawancara mendalam dengan musisi mentereng lainnya. Namun, ini konsisten dengan apa yang sudah dilakukan Gold Flake Point sejak awal berdiri. Siapa yang menghalangi kita untuk membuat materi publikasi yang setara? Atau album yang tidak kalah bagus dibanding apa yang diliput oleh Gold Flake Paint?

Memang butuh strategi marketing yang rinci, tapi bukan sekadar untuk meningkatkan viralitas dan engagement Instagram atau, lebih buruknya lagi, menurunkan substansi supaya tunduk pada pasar. Strategi marketing yang dijalankan bisa tetap memegang teguh prinsip yang ada dan menjadi appeal utama dari publikasi ini. Tentu ini hanya contoh yang sifatnya novelty. Namun dalam konteks lokal, kita sudah melihat geliat publikasi fisik di sini.

Geliat yang nyata ada pada anak-anak ahensi trendy yang sejak tahun lalu rajin memproduksi zine, seperti Binatang Press dan Kamboja Press. Poin saya di sini adalah, walaupun spesifik pada publikasi, geliatnya sudah terlihat akan tetapi mereka kadang tidak relatable untuk sebagian orang atau jauh dari pusat perhatian masyarakat.

Namun, itu hanya contoh kasus di ranah media dan publikasi. Akar masalah baru bisa diselesaikan dengan berserikat dan menggalakkan koperasi. Di Indonesia, pekerja kreatif sudah diwadahi dalam serikat Sindikasi yang cukup konsisten dan terus berusaha mengedukasi pekerja kreatif. Namun, sejauh ini saya belum melihat upaya yang cukup dari Sindikasi untuk merangkul pelaku industri musik. Fokus Sindikasi nampaknya ada pada para pekerja ahensi–keputusan yang wajar karena nasib mereka sejujurnya jauh lebih naas.

Haruskah kita bergabung dan turut menggerakkan serikat yang sudah ada seperti Sindikasi atau membuat serikat yang sama sekali baru? Kedua jalur tersebut memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Apapun wadahnya, pelaku musik independen harus memiliki ruang untuk berkomunikasi secara rutin dan bebas dari konflik antarband atau kolektif yang menahun, atau hutang piutang yang menjadi pemecah pertemanan.

Di Britania Raya sana, theMU alias The Music Union menjadi wadah yang mumpuni bagi para musisi. Mereka tak sekadar menaungi musisi dan meminta jatah pajak atau biaya publikasi musik seperti instansi yang sudah ada di sini. theMU juga memberikan edukasi yang dibutuhkan musisi di Britania Raya–mulai dari pembahasan isu Brexit hingga Article 13. Isu politik tersebut dibahas guna menghindari miskonsepsi, serta memberi konteks dampaknya bagi musisi. Bahkan, biaya untuk sesi di stasiun televisi ITV saja diumumkan secara terbuka pada situs theMU.

Dengan membagikan informasi tersebut, theMU menciptakan jejaring yang memastikan tak ada musisi muda atau baru yang ditipu oleh industri. Tiap musisi menjadi sadar akan hak-haknya dan mampu bergerak sebagai satu kesatuan.

Merujuk pada theMU, serikat semestinya tidak sekadar jadi grup WhatsApp tempat mengirimkan poster acara masing-masing. Namun menjadi sebuah wadah yang sadar terhadap lanskap politik yang lebih luas, dan mampu mengambil posisi yang tegas bagi industri musik independen. Wadah semacam ini akan sangat berguna untuk keberlangsungan musisi-musisi di Indonesia. Implementasinya tak hanya ideal, tapi wajib.

Tak usah sejauh membahas Article 13 atau rumitnya publikasi musik. Banyak band lokal, apalagi di kota-kota kecil, yang masih gagap dalam membiayai sesi rekaman. Banyak kolektif yang masih ragu mengadakan hajatan karena tidak memiliki dana untuk menyewa alat. Koperasi ini akan memberikan kemudahan bagi pelaku-pelaku industri untuk melakukan hal-hal tersebut. Industri musik independen memang sudah lekat jejaringnya sejak awal, tapi dengan adanya serikat, jejaring tersebut akan bertambah luas dan independen.

Tentu perlu ada fungsi finansial juga. Jika koperasi yang diterapkan adalah model koperasi simpan pinjam, maka fungsi ini akan berguna terutama untuk pelaku yang saat ini sedang mengumpulkan dana rekaman. Pendekatan yang dianut juga bisa disesuaikan dengan model simpan pinjam. Banyak koperasi saat ini mengharapkan bunga. Bagi koperasi fiktif ini, kita bisa berasumsi bahwa pengembalian modal bisa dilakukan sebagian bersamaan dengan persenan hasil penjualan rilisan. Ide ini tentu perlu diuji dulu, tapi model-model serupa telah diterapkan oleh komunitas di berbagai daerah Indonesia. Meski dalam skala yang lebih kecil.

Perspektif dan Metode yang Spesifik

Saya harus angkat topi bagi YK Booking dari scene Yogyakarta yang bisa self-sustain dengan memiliki alat sendiri dan berhasil menerapkan batas bawah untuk harga tiket di acara musik Yogyakarta. Batas bawah tersebut berfungsi untuk tidak merugikan organizer maupun band yang tampil. Setelah berbincang dengan Indra Menus, sosok sentral di balik geliat YK Booking dan Rela Mati Records, saya tersadar bahwa langkahnya tak mudah. Mereka butuh sepuluh tahun untuk mencapai yang ada hari ini.

Menus menerangkan bahwa ini semua dimulai dari Kongsi Jahat Syndicate yang memetakan masalah-masalah yang ada di scene Yogyakarta. Bersama Ojie dan Adi “Gufi” Adriandi, mereka memetakan isu yang ada dan karakteristik band serta penikmat musik di Yogyakarta. “Akhirnya, kami mengerucut pada masalah venue, ketersediaan alat, dan gimana kami mengubah kebiasaan gigs independen yang dianggap harus gratis,” tutur Menus. “Kami pelan-pelan mengubah mindset anak-anak Yogyakarta. Gigs itu juga butuh dana buat diputar demi keberlangsungan hidupnya. Kami juga kasih pengertian ke band bahwa kami baru bisa segini, nanti akan menuju ke sana.”

Tentu, yang dimaksud dari “ke sana” adalah organizer dan band dibayar dengan rate yang memadai. Selanjutnya, mereka mencari pelaku industri yang memiliki masalah sama, baru melakukan penyuluhan isu dan mengajak mereka mengatasi masalah tersebut bersama-sama. Pada intinya, trio asal Yogyakarta itu menyadari bahwa mereka perlu mencari karakteristik dan sumber masalah yang bisa dijadikan isu bersama.

Saya dengan sungkan bertanya apakah yang dilakukan beliau bisa dilakukan di daerah lain, dan beliau menjawab bahwa tiap kota memiliki ciri khas dan masalahnya sendiri. “Kalau kita bisa tahu inti masalahnya dan ketemu orang-orang yang punya masalah sama dan mau berkolaborasi, masalah itu bakal teratasi,” ucap Menus. “Aku enggak yakin cara yang diterapkan di Yogyakarta bisa diterapkan seratus persen di kota-kota lain. Karakteristik masing-masing kota berbeda-beda, perlu riset yang lama dan trial and error.”

Tentu saja kota-kota lain tidak bisa menerapkan metode yang sama persis dengan Yogyakarta. YK Booking dan kawan-kawan mengidentifikasi bahwa akses kepada alat dan budaya “gigs harus gratis” adalah persoalan utama di kotanya, sehingga gerakan mereka fokus ke sana. Namun, cara mereka mengumpulkan orang yang sepemikiran dan duduk bareng, lantas bersepakat untuk bergerak bersama patut dicontoh oleh kota-kota lain. Jika kita bisa bergerak di daerah masing-masing tapi terhubung dalam sebuah serikat, maka scene musik independen kita secara kolektif akan perlahan menjadi jauh lebih baik.

Ambil contoh dua isu utama Yogyakarta, yakni alat dan tiket. Koperasi yang berjalan dengan baik bisa memodali pembelian alat yang dipergunakan secara bersama, atau menghimpun individu lintas elemen untuk menentukan harga minimal tiket gigs agar kegiatan DIY bisa dijalankan dalam koridor ekonomi yang masuk akal. Paling tidak, kita tidak perlu bersaing secara langsung dengan acara rokok yang gratis (selepas artikel saya tentang rokok, salah satu artis yang rajin bermain di acara rokok mengungkapkan pada saya bahwa penonton di acara-acara rokok banyak yang bayaran).

Apakah akan tetap ada acara rokok gratisan dengan penampil tenar seperti Danilla atau .Feast? Tentu saja iya. Tanpa industri rokok pun, aktivasi yang melibatkan musisi mahatenar akan terus ada. Tempo hari saya menemukan Isyana Sarasvati di suatu pusat perbelanjaan dalam aktivasi layanan pesan singkat LINE. Koperasi ini tidak diciptakan untuk “membunuh” konser bersponsor–toh, bukan itu intinya. Poin utamanya adalah memastikan bahwa ada jejaring yang mampu menjadi tempat aman bagi sesama pelaku industri skala kecil.

Jika ada koperasi yang berjalan dengan baik, band serta pelaku industri skala kecil lainnya mungkin tidak wajib mengikuti segudang acara aktivasi rokok atau mengikuti kontes musik rokok, karena sudah ada platform dan jejaring alternatif yang jelas untuk acara. Kalaupun motivasinya finansial, ada koperasi yang memberikan dukungan finansial yang jelas. Sehingga tidak ada lagi musisi seperti Logic Lost (teman saya sendiri) yang harus ikut kontes dan acara rokok dengan bayaran miring demi bertahan hidup.

Jika kita sebagai satu kesatuan telah menyediakan platform yang memadai bagi musisi, industri rokok tidak dapat “melahirkan” band in-house lainnya. Kita tidak bisa menjegal .Feast main di Soundsations karena memang sudah kodratnya, dan bayaran mereka pun sudah terhitung layak. Namun, kita bisa mencegah band-band lain dibayar murah di Soundsations karena tidak ada platform lain yang bisa menampung mereka.

Tentu, artikel ini tidak akan menjadi solusi otomatis bagi masalah yang kita hadapi. Namun, percakapan ini harus mulai kita perhatikan dengan serius. Berserikat dan berkoperasi adalah solusi yang masuk akal bagi scene musik independen, dan dapat memperbaiki isu yang menjamur hari ini secara jangka panjang. (*)

*) Argia Adhidhanendra. Salah satu inisiator Noisewhore, zine dan kolektif yang telah mendatangkan berbagai band internasional seperti Peach Pit, Fazerdaze, dan Unknown Mortal Orchestra.

Punk is Here, Life is Elsewhere

Oleh Pam

“Don’t let my unseriousnerss make you think that it isn’t serious.”
–Chumbawamba

When I hear the word culture, I reach my wallet.”
–Marylin Monroe

Talsa, seorang perempuan muda yang kini menjadi kawan terdekatku ini tertawa saat ia menyadari bahwa kami bebeda usia 10 tahun lebih. Saat kami membicarakan mengenai apa yang terjadi dalam hidup kami 10 tahun ke belakang, ia berkata, “Masa-masa hidup kamu keras ya, Pam?”

“Keras? Saya cuman nongkrong tiap hari sama pengangguran yang dandan aneh dan dengerin musik aneh yang juga kamu dengerin. Nggak ada yang namanya hidup keras saat kamu beneran nongkrong tiap hari sama mereka.”

*

10 tahun yang lalu, berarti tahun 1995, aku masih nyaris menghabiskan seluruh hidupku dengan berada di jalanan. Menenggak alkohol nyaris setiap hari, mengoceh tentang apapun, tertawa lepas, memikirkan tentang bagaimana penampilaku hari ini dan apa yang terbaik untuk dikenakan esok hari, warna apa yang akan kuoleskan di rambutku apabila kebetulan warna merah menyala rambutku telah memudar, memikirkan darimana aku akan bisa mendapatkan spike dan stud (kurasa ini masih tak ada dalam kamus bahasa Indonesia) untuk kupasangkan pada sabuk atau jaket kulitku. Mungkin apa yang kujalani lebih mirip dengan apa yang dijalani para model dalam kesehariannya, hanya bedanya aku melakukannya di jalanan. Pasti seperti kawan-kawan modelmu, Talsa. Tidak lebih. Dan itu sama sekali bukan hidup yang keras.

Bagaimana bisa disebut keras, saat aku walaupun dalam ketidakpunyaanku atas materi, selalu nyaris bisa mendapatkan makanan gratis tanpa harus bersusah payah. Aku cukup bergaul dengan kawan-kawanku yang memiliki uang berlebih dan secara terus terang meminta mereka untuk mentraktirku makan, atau sekadar membeli gorengan. Bahkan aku juga bisa meminta mereka membelikan alkohol untuk kami minum bersama-sama. Aku tak pernah kelaparan sama sekali. Bukankah hidupmu lebih keras, Talsa? Engkau harus bekerja untuk sekedar membiayai hidupmu sendiri, bahkan kini engku kadang tidak makan seharian apabila gajimu ditunda pembayarannya.

Orang tuaku memang tidak membiayai hidupku sama sekali begitu aku memutuskan untuk tidak meneruskan kuliah. Aku mendapat uang dengan menjual koleksi kaset lamaku, atau bekerja kadang-kadang saat ada kawanku yang memintaku membantunya membuat desain-desain tertentu, atau juga sering aku terus terang meminta uang dari kawan-kawanku yang masih didukung dalam segi finansial oleh keluarganya. Toh buktinya sebagian besar kawan-kawanku, walau bergaya punk, masih mendapatkan dukungan penuh dari orang tuanya dalam segi finansial. Kultur punk di Indonesia masih tergolong sangat muda dan ia diadopsi pertama kali oleh anak-anak muda kelas menengah ke atas. Sangat kontras dengan apa yang terjadi di Inggris atau Amerika yang merupakan negeri tempat lahirnya subkultur punk ini, di mana sebagian besar partisipannya di era awal adalah para pengangguran dan gelandangan. Jadi bagi kebayakan dari kami, uang bukanlah sebuah masalah yang patut dipusingkan. Kami hanyalah anak-anak kelas menengah yang meromantisir hidup bohemiman. Menganggap bahwa hidup menggelandang di jalanan, tampil kotor dan berpakaian rombeng adalah sesuatu yang sangat cool.

Tapi begitulah, aku menjalani hidup seperti ini dari hari ke hari, sebagai sebuah perarian dari hidup keseharianku yang semakin tidak beres lagi. Apa yang harus kulakukan saat aku tak memiliki sumber ekonomi yang dapat kuandalkan, tinggal di rumah seharian bersama kedua orang tuaku yang sering mengomel mengenai bagaimana aku sama sekali tidak produktif sebagai anak muda? Aku melihat banyak ketidakmungkinan saat aku berada di lingkungan rumahku, sementara di tengah kawan-kawan punk-ku berbagai kemungkinan seakan terbuka luas.

*

“Berapa yang yang harus dibawa buat ke sana ya, Pam?” tanya Talsa saat kami berdua memutuskan untuk melarikan diri beberapa hari dari rutinitas harian kami, menuju Yogyakarta.

“Berapapun kamu punya, kita bisa pergi kok.”

“Kalo cuman punya 10 ribu?” ucapnya, bermaksud melucu, karena ia pikir sangat tak mungkin untuk dapat pergi ke Yogyakarta dengan sejumlah uang tersebut.

“Nggak masalah.”

*

Menjadi bohemian yang memiliki grup musik memang memudahkan hidup. Apalagi saat kita menjalin hubungan perkawanan dengan kawan-kawan setipe di kota lain. Kadang kala grup kita akan diundang untuk bermain di sana.

Dalam salah satu perjalanan kami ke Yogyakarta dengan kereta api, aku hanya mengantongi uang sejumlah Rp 5.000, setengah dari jumlah yang dalam leluconmu itu, Talsa. Dan aku tidak sendirian, dari sekitar tiga puluh orang yang turut pergi, paling tidak kurang dari setengahnya yang benar-benar memiliki uang cukup. Sisanya nekat berangkat. Tentu saja dengan kondisi demikian, kami memutuskan untuk tidak membeli tiket sama sekali. Tak seorangpun dari kami membeli tiket. Kami hanya mengumpulkan uang sekedarnya, untuk kami berikan pada kondektur kereta yang melakukan pemeriksaan tiket; bisa dibilang melakukan penyogokan, tetapi walaupun dengan jumlah uang sekedarnya, setidaknya uang tersebut dapat langsung masuk ke saku sang kondektur yang hanya mendapatkan gaji sangat minim setiap bulannya. Aku memberikan uang dari sakuku sejumlah Rp 1.000 saja. Dan biasanya, dengan mengendarai kereta kelas ekonomi seperti ini, anak-anak muda yang tampak seperti gembel ini akan dianggap wajar apabila tak membeli tiket. Tampil bohemian dalam beberapa hal memang menguntungkan.

Ini masih lebih baik daripada saat aku melakukan perjalanan pulang, di mana aku sama sekali tak membayar untuk ongkos perjalanan.

Romantis? Mungkin. Tapi saat kita beranjak dewasa, kita akan melihat bahwa ini bukanlah soal meromantisir sesuatu, melainkan ini adalah di mana kita dapat melakukan apapun yang kita inginkan tanpa terjebak dengan kondisi ekonomi. Ini adalah tentang bagaimana kita dapat hidup seminimal mungkin dalam konteks keterlibatan ekonomi. Seorang kawanku dari Cimahi bernama Tole, bahkan pernah melakukan perjalanan ke pantai Pangandaran dari Bandung dengan hanya berbekal Rp 200 pada tahun 1992. Uang yang ia belikan rokok persis sebelum ia tiba di terminal bus di Bandung yang dapat membawanya menuju pantai tersebut. Dan toh ia dapat kembali empat hari kemudian dengan segudang kisah menarik, dengan tak kekurangan suatu apapun.

Memang, perjalanan ke Yogyakarta yang kita alami kemarin ini sangat menyenangkan, Talsa. Pengalaman yang menarik dan kita setuju untuk melakukannya lain kali, ke tempat yang lain. Tapi bukankah untuk itu kita harus bekerja beberapa bulan di Bandung, agar mampu mendapatkan uang cukup banyak yang akan kita habiskan dalam perjalanan kita?

Saat masih bergabung dengan kawan-kawan punk-ku, aku sama sekali tak pernah harus berkutat berhari-hari atau berminggu-minggu agar dapat melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya. Tidak seperti kita sekarang ini. Tak ada leisure-time dan work-time. Seluruh waktuku adalah leisure-time.

*

Saat aku begitu gembira karena mendapati Talsa ternyata memiliki satu folder MP3 berisi lagu dari The Breeders, ia berkata, “Dulu sempet pengen bikin band dan bawain musiknya kayak The Breeders, gitu.”

“Trus kok nggak jadi?”

“Nggak pede sama suara nih. Gak masuk aja kayaknya. Hahaha.”

Aku hanya tersenyum, mengingat bahwa diriku sendiri juga tak memiliki kemampuan vokal yang handal untuk dapat dikategorikan sebagai seorang vokalis. Tapi toh aku juga sempat beberapa kali memiliki grup musik.

*

Tanyakan pada kawan-kawanku dalam kultur punk, siapa saja yang sebenarnya mampu bernyanyi dengan baik, setidaknya dalam standar masyarakat umum. Pasti jawaban yang kau terima hanyalah ejekan dan tertawaan.

Dalam kultur punk, engkau tak harus dapat bernyanyi dengan baik hanya untuk sekadar dapat membentuk sebuah grup band. John Lydon cukup melakukan lip-sync atas lagu-lagu dari Alice Cooper saat ia diaudisi untuk menjadi vokalis The Sex Pistols. Dez Cadena juga sama sekali belum pernah bernyanyi sebelum ia direkrut untuk menjadi vokalis Black Flag. Bahkan para anggota grup Chumbawamba pada penampilan-penampilan perdananya di hadapan publik, sesungguhnya baru mulai untuk belajar memegang alat musik. Dan kau pikir siapa Jello Biafra sebelum ia menjadi frontman band hardcore punk legendaris, Dead Kennedys? Siapa Brian D sebelum bermain bersama Catharsis? Bagaimana dengan Dennis Lyxen? Kathleen Hanna? Orang-orang yang ahli dalam bidang olah vokal?

Kita tak perlu standar nilai masyarakat untuk menentukan apa yang akan kita lakukan. Yang lebih penting adalah bagaimana kita mampu untuk melakukan sesuatu, menciptakan sesuatu dan menerima segala bentuk kekurangan kita serta mentransformasikannya menjadi sesuatu yang menarik.

*

Menjadi punk, adalah membuka kemungkinan atas segala hal. Setidaknya itu nilai yang kudapat saat aku memutuskan untuk menjadi bagian dari kultur tersebut bertahuan-tahun lalu. Nilai itu pula yang membuatku seskitar lima tahun lalu untuk memutuskan meninggalkannya. Aku tertarik pada kultur ini sekitar tahun 1987, saat aku menghadiri event perpisahan SMP (sekarang SLTP atau junior high school, whatever) dengan tujuan mendekati seorang bintang sekolah adik kelasku. Dalam event tersebut, saat aku sedang asyik melancarkan rayuan pada gadis tersebut, di hadapan kami tampil teman-teman gadisku tersebut dengan membawa alat musik dan rambut acak-acakan berwarna kuning terang. Agak aneh sebenarnya, mengingat bahwa itu adalah event resmi perpisahan sekolah yang dihadiri oleh kepala sekolah dan seluruh jajaran staf guru.

Grup band ini tampil ajaib. Pada tahun 1987 nyaris seluruh dari kita akan terpana melihat rambut dengan potongan mohawk atau acak-acakan dan berwarna kuning terang. Mereka juga tampil setengah sadar, terlalu banyak menenggak alkohol. Lebih ajaib lagi adalah saat mereka mulai bernyanyi. Berteriak-teriak menyumpah serapah di setiap jeda lagu, lantas dalam lagu ketiga sang vokalis ambruk karena terlalu mabuk. Band tersebut pun turun panggung karena seorang guru berdiri menyuruh mereka untuk berhenti bermain. Aku begitu terpana dan mulai melupakan gadis di sebelahku. Aku memilih memburu para anggota band tadi ke belakang panggung untuk kemudian berkenalan dengan mereka. Berteman dengan mereka. Nama grup musik tersebut adalah Bagundal. Merekalah yang pertama kali memperkenalkanku pada punk rock. Mereka memberiku sebuah rekaman kaset The Sex Pistols, memberiku tulisan-tulisan soal band favorit mereka tersebut beserta foto-foto yang digunting dari berbagai sumber. Aku masih ingat saat vokalis Bagundal itu, Tommy, berkata padaku, “Maneh mah teu kudu bisa nyanyi atawa maen alat atuh jang bisa ngeband mah. Nu penting senang-senang weh.” (Kamu tidak perlu dapat bernyanyi atau bermain alat musik untuk dapat membentuk sebuah grup musik. Yang penting mah bersenang-senang).

Berawal dari situ, aku mulai memburu apapun yang berbau punk rock bersama seorang kawan dekatku yang biasa dipanggil dengan sebutan Anus (nama aslinya Octavianus). Kami menjual seluruh koleksi New Wave kami untuk menggantinya dengan koleksi punk rock. Mulai dari mencuri di toko-toko kaset, merekam kaset dari Tommy dan kawan-kawan, mengenakan pakaian-pakaian yang dianggap telah usang dan lapuk, mencicipi obat-obatan, mencari gara-gara dengan para yuppies di daerah Dago yang saat itu masih didominasi oleh kaum yuppies. Hingga sampai pada titik di mana aku memutuskan untuk keluar dari kuliahku di tahun 1993.

Aku menghentikan penggunaan obat-obatan sekitar tahun 1995, kecuali melanjutkan penggunaan alkohol (yang sempat kuhentikan beberapa kali), ganja dan mushroom. Di tahun tersebut aku mulai mengenal bahwa ada sesuatu di balik kultur punk ini, sesuatu yang mulai kutemui karena aku mulai membaca lirik-lirik dari band-band punk rock yang lebih serius seperti Crass, 7 Seconds, Minor Threat dan Dead Kennedys (aku mengenal band ini sekitar tahun 1990, tapi entahlah, di tahun itu aku tak tertarik untuk mengkaji liriknya). Dengan ini dimulailah pencarianku akan sesuatu yang lebih dari sekadar musik dan vokal yang tak sesuai dengan standar nilai bagus masyarakat. Aku mulai berkenalan dengan anarkisme dan berbagai ideologi sejenis.

Dari sekadar ingin tahu dan mengenal internet di tahun 1996, aku mendapat sejumlah besar informasi mengenai punk rock. Aku mulai mengenal konsep straight-edge dan isu animal liberation yang diusung oleh grup-grup sejenisnya. Aku juga mulai mencoba mempraktekkan konsep DIY (do-it-yourself) yang begitu populer di luar negeri. Awal tahun 1997, aku bahkan mentahbiskan diriku sebagai seorang vegan-anarkis-punk.

Di tahun itu juga aku bersama beberapa punk lainnya membentuk Riotic Recs/Distro, karena kami tak melihat ada kemungkinan bagi kami semua untuk dapat memiliki rekaman band-band yang kami sukai apabila kita tak melakukannya sendiri untuk memproduksinya. Lagipula ini didorong karena kami banyak membaca mengenai sejarah perkembangan kultur punk yang kami dapat dari pemanfaatan teknologi internet. Kami juga mulai untuk menyusun media fotokopian kami sendiri, membangun jaringan perkawanan kami sendiri dan mendorong kawan-kawan kami di luar kota untuk melakukan hal yang sama.

Mungkin beberapa dari kami terlalu penuh keingintahuan akan segala sesuatu. Sikap yang membawaku dan beberapa punk lainnya untuk mulai berkenalan dengan PRD dan ideologi komunisme. Didorong juga oleh momen politik yang memang memanas dan ketidakmampuan kami untuk menerapkan konsep-konsep anarkisme yang kami dapat dari internet ke dalam kehidupan harian di Indonesia, khususnya di Bandung. PRD-lah yang mengajarkanku banyak hal tentang arti kapitalisme, mengapa ia menelurkan rasisme, fasisme, kemiskinan dan lain sebagainya; akar-akar masalah yang sesungguhnya juga menerbitkan subkultur punk sebagai anti-tesisnya di Eropa dan Amerika Utara di tahun 1970-an. Aku mulai mengerti mengapa konsep DIY menjadi sangat berpengaruh, dan ia bukan sekadar sebagai sebuah alat eksistensi belaka. DIY adalah sikap politik yang menjadi sangat radikal, terlebih lagi saat segala sesuatu di sekeliling kita mendorong kita untuk mengonsumsi dan terus mengonsusmsi. Aku mulai melihat keterkaitan segala sesuatu yang kulakukan selama bertahun-tahun dengan gaya hidup punk dengan apa yang terjadi di sekelilingku. Aku mulai mendapatkan mata rantaiku yang hilang.

Ini juga yang mendorongku untuk mulai membentuk sebuah grup musik yang lebih politis, baik dalam lirik maupun dalam sikap hidup kesehariannya. Tahun 1999, Kontaminasi Kapitalis lahir, dan seluruh anggotanya adalah punk-komunis. Kami mulai menyerang kawan-kawan kami sendiri yang menganggap bahwa punk hanyalah sekadar musik yang dapat menghasilkan uang, sebuah komoditi musikal. Membuat garis batas menjadi penting di saat kultur punk mulai sedikit demi sedikit terkomodifikasi. Dalam tahun-tahun tersebut, banyak dari punk di Bandung mulai mentransformasikan kultur ini menjadi sebuah bisnis yang menguntungkan dari segi ekonomi. Tentu, sikap seperti ini membuat kami mendapat banyak kecaman, cercaan dari kawan-kawan kami sendiri.

Tahun 2001, gitaris kami meninggal dunia karena keingintahuan yang terlalu jauh atas hidup ini, hingga ia mencapai sebuah titik yang tak memiliki kemungkinan untuk kembali. Bertepatan dengan semakin menguatnya dorongan depolitisasi subkultur punk di Bandung (kecuali ideologi nasionalisme dan chauvinisme yang semakin menguat di kalangan subkultur skinhead yang anehnya di Indonesia bergabung bersama punk). Aku telah mengundurkan dari Riotic Recs/Distro semenjak pertama kali aku melihat sebuah gejala komodifikasi di dalamnya di tahun 1999. (toh aku tidak salah, memasuki abad 21, Riotic mulai sepenuhnya bertransformasi menjadi sebuah bisnis korporat). Ditambah dengan meninggalya kawan dekatku karena overdosis, menguatnya depolitisasi radikal yang berbarengan dengan penguatan ideologi yang cenderung fasistik dan gejala komodifikasi kultural yang semakin hari semakin menguat, membuatku memutuskan untuk meninggalkan subkultur ini.

Saat melampaui batas yang ditetapkan pada dirimu bukan oleh dirimu sendiri adalah apa yang diajarkan oleh subkultur punk sejak pertama kali ia lahir, saat kompromisme adalah apa yang dihindari sejauh mungkin oleh para penerus generasi pertama punk yang bertransformasi ke dalam berbagai variannya, saat independensi adalah salah satu poin penting dalam subkultur ini, maka adalah sangat punk bagiku untuk memutuskan untuk tak berafiliasi lagi dengan apa yang disebut punk di tengah kondisi seperti yang kutulis di atas. Saat menjadi punk justru membatasi diriku untuk berafiliasi dengan siapapun di luar subkultur punk, saat menjadi punk adalah menjadi nasionalis banal yang sok merasa diri paling benar dan menafikan dialog, saat menjadi punk adalah berarti menjadi seorang bisnismen yang mampu menjual apapun demi kepentingan dompet sendiri, saat menjadi punk adalah kompromi dengan sistem yang ditentang mati-matian di awal kelahiran punk itu sendiri, saat menjadi punk adalah memapankan budaya feodal yang mengungkung, bagiku adalah punk untuk tidak lagi menjadi seorang punk.

Hidup masih terbentang luas untuk terus dieksplorasi dengan nilai-nilai yang kudapat dari perjalanan hidupku selama aku bergabung dalam komunitas punk lokal, nilai-nilai yang masih menancap dalam diriku dan tak kutemui lagi dalam subkultur punk lokal. Bagi komunitas punk lokal, punk hanyalah fase menjadi anak nakal untuk kemudian menjadi dewasa dan kompromistik saat engkau berusia 25 tahun ke atas. Bagi komunitas punk lokal, punk adalah bagaimana engkau berdandan dan bermain musik keras, serta mendapat banyak uang darinya. Aku memang juga demikian saat pertama kali mengenal punk, tapi kondisi saat itu adalah masa di mana tak ada informasi sama sekali mengenai apa itu punk, kini dengan keberadaan internet, literatur bahasa Indonesia, banyaknya kawan-kawan yang telah lama berkecimpung dalam komunitas punk, semua apologi tentang ketidaktahuan itu menjadi gundukan sampah di hadapanku. Dan maaf, itu bukan jalanku. Aku terlalu bebas untuk dapat diikat dengan satu subkultur.

*

“Kok ngeburn-nya MP3 indiepop semua sih? Eks-vokalis band punk dengernya indiepop? Hihihi,” katamu. Rupanya engkau heran karena aku selalu berteriak gembira saat menemukan folder-folder indiepop MP3 miliknya, bukannya mencari-cari MP3 hardcore punk.

“Temen-temen kamu tuh sekarang bisa pada idup dari jadi punk. Jeruji misalnya. Atau Riotic yang sekarang bisa jadi cukup gede itu. Sayang kamu justru ngejauh dari itu semua, Pam,” ujarmu lagi saat aku tersenyum-senyum begitu kutemukan folder MP3 The Exploited terselip di antara jajaran folder-folder MP3mu yang sekian banyak itu.

“Karena saya dapet banyak hal waktu saya masih jadi punk. Banyak yang saya pelajarin bahwa idup ini memang perlu duit, tapi sekaligus bahwa duit itu bukan apa-apa di idup ini. Banyak hal yang lebih penting daripada sekadar nyari duit. Itu yang saya dapet dari punk.”

“Seperti?”

“Seperti jadi bukan punk. Soalnya sekarang punk artinya tentang gimana kamu bisa dapet duit trus terkenal.”

Sumber: Zine Beyond the Barbed Wire #1 [2005]
Ditik ulang oleh Nibiru Semesta

Tiga Alasan Pecinta Hip Hop Lokal Perlu Belajar Pada Wijilan

Oleh Herry Sutresna

Kampung Wijilan, Yogyakarta, menjadi kancah hip hop mengasyikkan berkat kiprah komunitas Hellhouse. Polemik dengan polisi berujung pada dihapusnya atribut Hellhouse, membuat komunitas itu makin penting kita dukung.

Hip Hop lokal, menurut saya, belum pernah semenggairahkan lima tahun belakangan. Tentu ada banyak faktor yang memicunya. Mayoritas mungkin berpatokan pada meroketnya popularitas Rich Brian di kancah musik Amerika Serikat dan Eropa, sebagai alasan utama hip hop lokal terasa menarik. Beberapa rekan lain lebih gembira lantaran geliat generasi baru MC dan beatmaker yang menyeruak berkat karya-karya fenomenal. Bakat-bakat muda ini tak ragu mengangkat sisi estetika dan teknik dari musik dan lirik rap berbahasa lokal ke level selanjutnya.

Ada pula yang beranggapan kancah hip hop jadi menarik, berkat keberhasilan diaspora genre ini mencapai pelosok Indonesia ditopang teknologi informasi. Hip hop bisa kalian temukan di daerah yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya, mulai dari pinggiran Danau Toba, Cirebon, Purwokerto, Banjarmasin, Flores, Ternate, maupun pelosok Papua.

Tapi, menurut saya, setiap penggemar hip hop lokal sebaiknya memalingkan perhatian ke satu lokasi paling panas: Wijilan, Yogyakarta. Bahkan insiden dengan polisi yang terjadi awal bulan ini tak akan menghentikan kiprah pegiat hip hop dari Wijilan.

Sebelum beranjak lebih jauh, perlu saya tekankan kalau Yogyakarta sejak dua dekade lalu sukses memperoleh tempat tersendiri dalam kancah hip hop lokal. Pada periode awal perkembangan hip hop di Indonesia, Yogyakarta memiliki peran yang sama pentingnya dengan kota lain seperti Medan, Jakarta, Bandung dan Surabaya. Unit hip hop legendaris G-Tribe masuk dalam album kompilasi Pesta Rap Vol.1 saat rilis 1993 dengan lirik sepenuhnya berbahasa Jawa.

Kendati begitu, tak bisa dipungkiri bahwa rentang waktu paling menarik dari hip hop di Yogyakarta adalah kurun lima tahun ke belakang. Tepatnya, sejak sebuah kolektif bernama Hellhouse lahir di tengah-tengah tongkrongan malam mingguan di ruas jalan jantung kota Yogyakarta bernama Wijilan.

Hellhouse berawal dari niatan kolektif membuat studio bersama, mengingat sulitnya akses bagi mereka merekam secara mandiri. Seiring waktu, tongkrongan itu menjadi medium bagi mereka merilis dan mendistribusikan album. Hellhouse telah merilis album Begundal Clan, D.P.M.B, dan debut veteran Boyz Got No Brain akhir tahun lalu. Meski begitu, pada dasarnya mereka mempromosikan pula materi lokal yang tidak melulu rilisan dari komunitasnya sendiri. Contohnya debut album Bacil Kill ANTIXUNIX dan single unit hardcore lokal Serigala Malam.

Hellhouse tak sekadar menjadi label rekaman. Komunitas ini menjadi medium bagi anak-anak muda yang mencintai hip hop untuk melakukan kegiatan bersama warga sekitar. Mulai dari menggalang event rap dan graffiti atau apapun yang beririsan dengan aktivitas mereka sebagai sekumpulan warga di satu teritori. Dari mulai “Watchout Dab”, “Angkringan Hip Hop” hingga “Beat Camp”.

Namun, jika harus membuat poin-poin signifikan untuk merangkum alasan, “apa pentingnya Wijilan?”, maka berikut tiga hal terpenting agar semua pegiat hip hop lokal memberi perhatian lebih kepada anak-anak muda yang menjaga api subkultur ini tetap menyala di Yogyakarta.

Wijilan Merevitalisasi Sound Boombap

Alasan pertama karena Hellhouse merupakan salah satu representasi wajah hip hop lokal dalam hal estetika musik yang berakar pada era keemasan rap dekade 90’an. Jika kalian sempat mendengarkan album D.P.M.B, kalian pasti sepakat pada argumen tersebut. Debut album Alex ‘Donnero’ Sinaga dan Heri ‘M2MX’ Wiyoso itu merupakan boombap yang mengandung DNA dari 3rd Bass, Lords of the Underground, Soul Assassin era awal, hingga Beatnutz. Alex dan Heri mengoplos semua pengaruh tadi sangat baik di album debut Re-Attitude, lengkap dengan shout rap yang siap dibawakan anthemic pada setiap panggung mereka dengan energi tinggi.

Jika kalian menyukai D.P.M.B, maka kalian akan menyukai pula Antixunix milik Bacill Kill. Demikian pula Bunga Trotoar Boyz Got No Brain—album yang seakan menjadi perpanjangan tangan apa yang mereka lakukan dengan G-Funk di 90-an. Kapan terakhir kali kalian mendengar lagu rap dengan sample Cheryl Lynn coba?
Atau jika mengikuti mereka di media sosial, kalian tak akan asing dengan salah satu roster Hellhouse, yaitu Mario Zwinkle. Meski Mario belum merilis album penuh, dua single-nya ‘Funk Yeah‘ dan ‘DIYU‘ yang dirilis via youtube, berakar pada Funkdoobiest dan James Brown. Cukup membuat kaum puritan hardfunk penasaran.

Hellhouse sekaligus menjadi rumah bagi salah satu beatmaker terbaik lokal saat ini: Lacos. Bersenjatakan MPC dan Boss SP–nya, ia memproduksi musik bagi beragam rapper; mulai dari roster Hellhouse seperti Optizilla hingga veteran macam Yacko, sekali lagi dengan mahzab sound dari kurun boombap menjadi kiblat tentunya.
Hellhouse adalah Komunitas dalam Arti Sesungguhnya

Ini alasan kedua. Hellhouse lebih dari sekedar musik. Jika kebanyakan ‘komunitas hip hop’ hari ini sinonim dengan sekumpulan orang yang berlokasi berjauhan terhubung oleh internet, Hellhouse merupakan komunitas dalam artian yang paling literal.

Hellhouse adalah tongkrongan di mana para pegiatnya berinteraksi dan bertemu muka hampir setiap hari di satu tempat. Yogyakarta selalu menjadi tempat nomor satu bila bicara soal populasi hiphopheads. Selain faktor kota yang tak begitu besar dan guyub, nampaknya faktor ini pula yang memungkinkan Hellhouse menjadi sebuah sebuah kumpulan intim, sekaligus membuat mereka berhasil mengakar bersama masyarakat sekitar.

Bila kalian selama ini menganggap hip hop adalah musik teralienasi yang hanya hidup di klub-klub, silakan datang ke jalan Wijilan. Mungkin saja kalian sedang beruntung menemukan mereka sedang menggarap gig angkringan, melapak produk mereka, mengajari pemuda lokal teknik graffiti, atau bahkan mengorganisir workshop beat dan rima bagi anak-anak kecil seperti yang mereka lakukan Maret lalu. Yang terakhir saya sebut merupakan sebuah keistimewaan tersendiri, karena di akhir workshop mereka membuat sebuah acara dengan panggung memblokade jalan, lantas membawa anak-anak kecil tadi manggung membawakan materi hasil workshop mereka. Itu semua perlu ditambahkan catatan penting (yang cukup langka hari ini), bahwa Hellhouse melakukan semuanya mandiri. Tak ada sponsor rokok atau keterlibatan korporasi pada prosesnya.

Hellhouse Yakin pada Nilai Emansipatif dan Partisipatif, Sekalipun tak Didukung Aparat

Inilah alasan ketiga, sekaligus yang terakhir. Di Wijilan, kalian dapat melihat manifestasi basa-basi budaya ketimuran yang sudah bertetangga dekat dengan kekonyolan. Dengan komitmen mereka yang tanpa kompromi terhadap anak muda sekitar, nyatanya kiprah Hellhouse tak selalu disambut positif.

Insiden terjadi pada 1 April lalu, ketika Kepolisian Sektor Wijilan mendadak mendatangi markas Hellhouse, menuntut para pegiat hip hop itu menghapus menghapus segala bentuk tulisan “Hellhouse” di Wijilan, baik dalam bentuk graffiti, tagging, atau bahkan stiker di etalase toko mereka. Tekanan polisi terjadi berselang satu hari setelah komunitas ini sukses menggelar acara “It’s Wijilan yang dihadiri lebih dari 1.000 penggemar hip hop seantero Yogyakarta.

Aparat polsek berasumsi nama ‘Hellhouse’ jika diartikan harfiah bermakna negatif terhadap Wijilan. “Mereka beranggapan [Wijilan] ini keraton, tempat berbudaya, begitu ada ‘rumah neraka’, mereka takut itu bisa merusak citranya. Atau merusak moral warganya,” kata Alex Sinaga saat dihubungi terpisah. Bahkan, arisan ibu-ibu setempat turut membahas logo Hellhouse.

Alex, mewakili Hellhouse, lantas diajak dalam rapat bersama pejabat-pejabat di wilayah keraton melibatkan RT, RW, camat, lurah, koramil, satpol PP, serta tentu saja polsek. Keputusan aparat dan para birokrat kadung bulat, semua atribut Hellhouse harus dihapus dari Wijilan.

“Kami keep it low, mengalah,” kata Alex.

Benarkah bila banyak orang hilir mudik di sana bakal tergoyahkan imannya gara-gara masuk rumah neraka pegiat hip hop? Kalau benar, tentu itu mencoreng peradaban manusia timur. Atau lebih tepatnya Yogyakarta. It’s ok tho. Toh faktanya, bagi banyak orang, Hellhouse kadung melekat sebagai nama lokus yang emansipatif dan inspiratif.Seandainya kelak komunitas ini dipaksa ganti nama menjadi “Heavenhouse” sekalipun, tetap tak bisa menghapus kesan positif kami—sebagai sesama pecinta hip hop lokal—terhadap keberhasilan mereka meresureksi frasa LL Cool J tiga dekade lampau: “Rock the Bells, Hard as Hell.”


Herry ‘Ucok’ Sutresna telah dua dekade berkecimpung di komunitas hip hop Bandung. Kini dia aktif mengelola Grimloc Records dan tergabung dalam kolektif hip hop Bars of Death.

 

Sumber: Vice.com

Musik Indie Tidak Bisa jadi Pahlawan

Oleh Ferdhi Putra

 

Akhir dekade 1990-an adalah momen krusial bagi Indonesia. Suharto tumbang setelah 32 tahun bercokol sebagai penguasa tunggal, dan Indonesia memasuki fase transisi menuju demokrasi. Dalam banyak narasi sejarah mengenai periode tersebut, anak muda – terutama mahasiswa – kerap disebut sebagai biangnya. Sebagaimana periode 1965-66, mahasiswa angkatan 1998 juga memainkan peranan penting dalam proses peralihan kekuasaan. Bedanya, pada ‘98, ada kelompok anak muda lain yang dianggap turut berperan melengserkan Suharto. Mereka adalah para penikmat musik underground.

Esai etnomusikolog asal Amerika Serikat, Jeremy Wallach yang berjudul Underground Rock Music: And Democratization in Indonesia (2005) menyuratkan itu. Secara sederhana, Wallach mengajukan bahwa scene musik underground turut berperan dalam perubahan sosial pada tahun-tahun tersebut. Sebagai gerakan kebudayaan, musik populer — termasuk musik underground atau independen — memainkan peranan lain di luar Politik (dengan ‘P’ besar) selama kurun waktu krisis.

Scene inilah yang turut mempengaruhi perspektif anak muda, terutama yang bergiat dalam scene, agar mau ikut ambil pusing dalam urusan politik (dengan ‘p’ kecil). Bangkitnya kesadaran politik anak muda ini, tulis Wallach, terhitung penting setelah bertahun-tahun lamanya anak muda dijauhkan dari politik melalui berbagai kebijakan Orde Baru – mulai dari NKK/BKK hingga pelarangan rambut gondrong.

 Membaca selintas sejarah scene underground — termasuk punk — di Indonesia, kita akan menemukan banyak kisah mengenai bagaimana scene ini berdinamika pada senjakala hingga pasca kejatuhan Orde Baru. Di Bandung, misalnya komunitas-komunitas punk membentuk Front Anti Fasis (FAF) dan berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD), organisasi yang radikal pada masanya. Tidak hanya mengorganisir komunitas, ‘anak-anak punk’ ini terlibat dalam aksi politik kelompok lain, seperti aksi solidaritas pada Hari Buruh Internasional tahun 1997.

Pola serupa terjadi di Jakarta. Dalam tesisnya, Fathun Karib mencatat bahwa komunitas punk Jakarta terlibat dalam aktivitas politik seiring dengan memanasnya situasi nasional kala itu. Seperti di Bandung, komunitas punk Jakarta juga bergabung dengan PRD. Masih menurut Karib, pada masa itu PRD memang sengaja merekrut anak muda dari kelompok-kelompok punk di seluruh Indonesia. Meski sebetulnya, kecuali kasus Jakarta dan Bandung, saya belum menemukan literatur yang memperkuat kesimpulan itu.

Artinya, selain melalui gerakan kebudayaan seperti musik, konser, dan zine, sebagian anak punk atau scenester underground juga terlibat dalam gerakan politik. Hanya saja, tak banyak literatur yang menyorot keterlibatan punk dalam politik. Beberapa penelitian justru memberi panggung pada estetika musik underground semata, alih-alih politik. (Wallach 2003 & 2005, Martin-Iverson 2007 & 2014).

****

Dari sekian banyak produk budaya musik underground, lirik lagu-lagu underground memang kerap jadi favorit bagi para peneliti untuk membuktikan keberpihakan suatu subyek terhadap isu tertentu. Singkatnya, ia mudah diteliti. Wallach (2005), misalnya, mengambil contoh lirik band Death Metal bernama Slowdeath yang dianggapnya sangat tajam: “There’s no difference between Dutch Colonialism and the New Order! (Tak ada bedanya kolonialisme Belanda dan Orde Baru)”.

Bukan sekadar liriknya yang bikin Wallach terkesima. Lirik tersebut, yang diambil dari lagu berjudul The Pain Remains the Same, ditulis dan dinyanyikan di masa ketika Suharto masih berjaya. Tak banyak musisi – kalaupun ada – yang berani seterang-terangan itu mengkritik Orba ketika ia masih berkuasa.

Tapi, pertanyaannya: apakah analisis terhadap liri lagu – atau elemen kultural lainnya – sudah cukup representatif? Apakah dengan melihat 1-2 lirik lagu, kita bisa menyimpulkan bahwa ini adalah cikal bakal perubahan sosio-politik yang akan terjadi kelak?

 Salah satu eksponen gerakan ‘98 yang juga saksi hidup musik underground dan gerakan sosial di Bandung, Herry ‘Ucok’ Sutresna, meyakini bahwa musik tidak seperkasa itu. “Saya tidak percaya musik bisa berbicara banyak di gerakan sosial,” kata Ucok ketika diwawancarai Jurnal Ruang. “Kalau lu mau bikin gerakan sosial, terlibatlah. Turun dan organisir bersama masyarakat. Di luar itu, enggak ada hal lain. Para petani itu tidak akan tergerak untuk mereklaim lahan hanya karena mereka mendengar lagu lu.”

Pun pada kenyataannya, di Indonesia, lagu-lagu dengan lirik politis tidak serta merta menumbuhkan kesadaran politik para scenester underground. Salah satu buktinya, lirik-lirik bernada pembangkangan milik Sex Pistols, Crass, Black Flag atau Dead Kennedys, tidak berpengaruh apapun bagi Generasi Pertama Punk Jakarta. Kesadaran politik mereka baru tumbuh melalui zine seperti Profane Existence dan Maximum Rock N Roll, dan – ini kuncinya – infiltrasi organisasi politik seperti PRD (Karib, 2007).

Itulah mengapa meski hampir setiap produk lirik dari musik underground berisi nada-nada perlawanan nan politis, tidak semua scenester memiliki keinginan untuk berpolitik.

Yang Politis dan Apolitis

Sejatinya, perbedaan pilihan politik adalah kenyataan sosial yang tidak hanya terjadi di ranah underground. Ia terjadi di hampir setiap lapisan masyarakat. Tentu kita tidak membayangkan bahwa scene underground memiliki suara politik yang seragam – toh mereka bukan Orba. Tapi dalam konteks ini, pilihan politik sangat berimplikasi pada bagaimana kita melihat scene underground dan perannya dalam perubahan sosial.

Perbedaan pilihan politik ini, hemat saya, mestinya menjadi aspek yang penting digarisbawahi bila ingin melihat seberapa besar pengaruh scene underground terhadap perubahan sosial-politik. Sebab, di Jakarta dan Bandung misalnya, keberadaan punk politis diimbangi oleh keberadaan punk yang secara terang-terangan menolak politik.

Dalam risetnya, Fransiska Titiwening (2001; dalam Karib 2007) menemukan, perseteruan antara punk politis (anarcho-punk) dengan punk apolitis (street-punk) begitu mewarnai perjalanan komunitas punk Jakarta. Meski tidak ada konfrontasi fisik antara keduanya — beritahu saya jika ada — garis demarkasi ‘ideologis’-nya cukup jelas. Punk politis melihat bahwa keterlibatan dalam politik (bukan ‘P’ besar, artinya politik di sini dimaknai secara lebih luas) adalah sesuatu yang penting. Di masa-masa bergejolak, tidak sedikit scenester yang ikut mengorganisir massa, beradu batu dan molotov dengan aparat di jalanan, mengokupasi gedung radio milik pemerintah — laiknya Cakrabirawa pada 1 Oktober ‘65, hingga diculik dan disiksa oleh aparat (Yunus, 2004).

Sementara di sisi lain, punk apolitis melihat bahwa politik adalah omong kosong belaka. Tentu mereka tidak mempersetankan politik. Tapi, mereka cenderung enggan menyangkutpautkan politik dengan laku produksi dan konsumsi budaya mereka.

Di Bandung, Resmi Setia (2001; dalam Martin-Iverson, 2014) dalam studinya menemukan pola yang hampir serupa. Ada perbedaan yang cukup besar di salah satu tongkrongan punk di Bandung; antara scenester lawas dari kelas menengah yang punya komitmen kuat terhadap musik dan politik, dengan kelompok baru yang terdiri dari anak-anak jalanan kelas bawah yang hanya tertarik pada fashion dan gaya hidup ala punk.

Ini persoalan nyata yang masih bertahan sejak era awal punk di Indonesia hingga Pemilihan Presiden 2014 — dan mungkin pemilu-pemilu selanjutnya. Ada dua esai menarik dari Herry Sutresna yang berjudul Making Punk A Threat Again dan Rosemary, Punk Rock dan Endorsment Polisi: Garis Tipis antara Naif dan Moron. Keduanya ditulis berdasarkan peristiwa di lapangan, yang menurut saya mampu memperlihatkan anomali punk di Indonesia; bagaimana pilihan untuk menjadi politis atau apolitis akan sangat berdampak pada situasi kultural dan politik, bahkan dalam scene itu sendiri. Ini tidak hanya terjadi di scene punk, tapi juga di scene underground lain seperti metal, Hip Hop, dan alternatif — omong-omong, ini klasifikasi underground menurut Wallach.

Sejarah yang Berulang

Apa yang terjadi pada anak muda di senjakala kekuasaan Suharto, menurut saya, tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di penghujung kekuasaan Sukarno. Pada tahun 1965, 1998, serta fase setelah ’65 dan ’98, anak muda – terutama yang menyukai musik non-mainstream – hanya sedang merayakan kebebasannya tanpa memiliki kecenderungan politik apapun.

Seperti yang Wallach kutip dari pernyataan Yukie (Pas Band), “underground rock movement di Indonesia adalah bukti bahwa pemuda Indonesia sedang menentukan pilihannya sendiri,” (Wallach, 2005). Atau simak kesaksian Munif Bahasuan ketika diminta menggambarkan masa-masa pasca kejatuhan Sukarno: “Jujur saja, setelah Pak Harto berkuasa, semuanya jadi lebih terbuka. Kami merasakan masa-masa penuh kebebasan.”

Tentu saja kita bisa memaknai kedua pernyataan tersebut sebagai pilihan politik — toh saya meyakini kebebasan individual adalah tindakan politik. Tapi, apakah ini berdampak pada Politik (huruf ‘P’ besar) pada skala yang lebih besar? Belum tentu.

Ketika Orba membuka diri terhadap pengaruh Barat, termasuk budaya, para ‘pemuda’ berbondong-bondong mengadopsi gaya hidup ala Barat, lebih spesifik lagi budaya hippies. Jika di Amerika Serikat hippies melakukan pembangkangan budaya sekaligus politik, tidak demikian di Indonesia. Aria Wiratma dalam Dilarang Gondrong menyebut kelompok hippies di Indonesia sebagai hippies abal-abal (plastic hippies), karena hanya mengimitasi laku dipermukaan saja seperti berambut gondrong, mabuk-mabukan, seks bebas, dan mengkonsumsi musik rock.

Sejarah membuktikan, meruaknya kebebasan di setiap transisi tidak melulu bermakna politis. Ini hanya gejala industri budaya, yang membuat semangat perlawanan dalam hippies maupun gerakan underground beralihrupa menjadi komoditas belaka. Tak ada yang politis, kecuali kecenderungan untuk bebas mengonsumsi segala tetek bengek dari ‘budaya perlawanan’, tanpa peduli dengan perlawanan itu sendiri.

Dalam Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Dominic Strinati menyebut bahwa, “industri budaya telah membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka dengan cara menanamkan keinginan atas kebutuhan-kebutuhan palsu.” Boleh dikatakan, kebutuhan akan perubahan sistemik kondisi sosial-politik, disederhanakan menjadi perkara kebebasan berekspresi/menentukan pilihan sendiri belaka; menjadi perkara kebebasan memilih benda-benda atau gaya hidup ‘pembangkang’ yang sebetulnya sama sekali tidak menyentuh bagian yang substansial. Atau dalam bahasa Strinati, “mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan riil, konsep-konsep alternatif dan radikal, serta cara-cara berpikir dan bertindak oposisional politis.”

****

Apa yang kemudian terjadi pasca-Orba tumbang? Dalam wawancara dengan Jurnal Ruang, Wallach memberikan pandangan yang lebih jelas: “Mungkin, anak-anak kelas menengah ini (para scenester underground) lelah. Setelah politis selama beberapa tahun, mereka mulai berpikir, ‘Kita sudah terlalu banyak bikin lagu anti-Suharto.’ Buat apa? Toh dia sudah lengser. Biarin aja, tinggal kita sekarang mau apa? Lantas, musik independen bergeser. Band yang sangat politis seperti Burgerkill dan Puppen disusul oleh band yang lebih eksperimental dan ‘nyeni’ seperti The Upstairs, White Shoes & The Couples Company, dan Mocca.”

Sebetulnya tidak berhenti di situ. Pergeseran yang terjadi bukan cuma dari politis menjadi ‘nyeni’, tetapi juga dari segi komersil. Demokrasi pasar pasca-Orba telah mengakibatkan disorientasi wacana dan gerakan scene underground, menyamarkan musuh, dan yang paling penting, membuka peluang bagi setiap individu untuk semakin terlibat di sistem. Industri budaya memastikan kelompok-kelompok ini turut serta dalam sistem (Strinati, 2016).

 Penelitian Martin-Iverson (2012) menemukan bahwa pada dekade 2000-an di Bandung, scene underground terus mengalami depolitisasi dan malah berorientasi pada urusan gaya hidup semata. Ada pergeseran motif dari politik menjadi ekonomi yang pada akhirnya menghilangkan identitas mereka sebagai kelompok ‘lawan’. Distro adalah salah satu manifestasinya: ia bermula sebagai ruang alternatif, kemudian beralih menjadi ruang transaksional dan menjadi mata rantai ekonomi neo-liberalisme.

“Para pengikutnya aman secara finansial,” tulis Strinati. “bisa membeli banyak barang yang mereka inginkan; atau yang mereka pikir mereka inginkan, dan tak lagi memiliki alasan-alasan sadar untuk menghendaki tumbangnya kapitalisme dan menggantikannya dengan sebuah masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara.” Pada akhirnya semua pelaku di scene underground — yang politis maupun apolitis — menjadi betul-betul apolitis.

****

Dalam kesempatan diskusi di Jakarta beberapa waktu silam, ada satu pertanyaan menarik dari partisipan diskusi untuk Jeremy Wallach. Orang itu kira-kira bertanya: “Seberapa signifikan pengaruh musik populer bagi perubahan sosial, terutama pada periode ’98?”

Wallach kemudian menjawab, “Kalau tidak ada pengaruhnya, Orba (mungkin) masih bertahan sampai sekarang.”

Ada raut kekecewaan dari si penanya. Ia tidak puas. Demikian dengan saya. Selama beberapa waktu, pertanyaan orang itu juga membenak di kepala saya. Dan menurut saya, jawaban Wallach saat itu terlalu menyederhanakan. Entah memang itu jawaban yang ada di kepalanya, atau ia cuma sedang malas menjawab saja.

Kita bisa bersepakat bahwa setiap budaya tanding punya daya ubah. Tapi seberapa besar pengaruhnya? Bagaimana ia bekerja? Hingga level mana? Cukupkah lagu-lagu itu ‘menginspirasi’ massa — bukan cuma individu — untuk bergerak? Dan yang paling penting, apakah perubahan pada skala individu atau kelompok kecil dapat berpengaruh terhadap situasi yang lebih makro?

Tanpa ekosistem, sebuah elemen radikal – lirik lagu, misalnya – tidak akan berarti apa-apa. Sebuah laku budaya bisa dianggap memiliki daya ubah hanya apabila ia bekerja secara sistemik sehingga memengaruhi situasi yang lebih luas. Lebih jauh lagi, ia mampu menandingi ekosistem arus utama.

Ucok pernah bertutur dengan sinis: “Kalau sekadar soal musik sebagai produk artistik yang menghipnotis massa dan meruntuhkan tirani, saya rasa itu cuma dongeng.” Memang, musik tidak akan meruntuhkan tirani. Musik cuma bakal menarik tirani untuk menonton, mendengar, dan ikut bernyanyi. (*)

 

Sumber: Jurnal Ruang

Sejarah Kancah Musik Indonesia

Oleh Anonim
Saya mencoba menyelamatkan sebuah arsip menarik yang penting tentang runutan sejarah perkembangan musik Rock Di Tanah Air. Untuk referensi dan sumber yang saya dapatkan dari hasil Googling ternyata berada dalam arsip mail seseorang. Silakan nikmati, niscaya anda akan seperti saya, yang terkaget-kaget membacanya. (Andrias)

Awal Mula

Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy (Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia.

Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones, hingga ELP.

Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album ketiga God Bless, “Semut Hitam”, yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.

Menjelang akhir era 80an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda sedang mengalami demam musik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band- band yang menjadi “gods”-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota- kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut.

Di Jakarta sendiri komunitas metal pertama kali tampil di depan publik pada awal tahun 1988. Komunitas anak metal (saat itu istilah underground belum populer) ini biasa hang out di Pid Pub, sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Menurut Krisna J. Sadrach, frontman Sucker Head, selain nongkrong, anak-anak yang hang out di sana oleh Tante Esther, owner Pid Pub, diberi kesempatan untuk bisa manggung di sana. Setiap malam minggu biasanya selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan kebanyakan band-band tersebut mengusung musik rock atau metal.

Band-band yang sering hang out di scene Pid Pub ini antara lain Roxx (Metallica & Anthrax), Sucker Head (Kreator & Sepultura), Commotion Of Resources (Exodus), Painfull Death, Rotor (Kreator), Razzle (G ‘n R), Parau (DRI & MOD), Jenazah, Mortus hingga Alien Scream (Obituary). Beberapa band di atas pada perjalanan berikutnya banyak yang membelah diri menjadi band-band baru. Commotion Of Resources adalah cikal bakal band gothic metal, Getah, sedangkan Parau adalah embrio band death metal lawas Alien Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull Death selanjutnya membentuk grup industrial Sic Mynded di Amerika Serikat bersama Rudi Soedjarwo (sutradara Ada Apa Dengan Cinta?). Rotor sendiri dibentuk pada tahun 1992 setelah cabutnya gitaris Sucker Head, Irvan Sembiring yang merasa konsep musik Sucker Head saat itu masih kurang ekstrem baginya.

Semangat yang dibawa para pendahulu ini memang masih berkutat pola tradisi sekolah lama’, bangga menjadi band cover version! Di antara mereka semua, hanya Roxx yang beruntung bisa rekaman untuk single pertama mereka, “Rock Bergema”. Ini terjadi karena mereka adalah salah satu finalis Festival Rock se-Indonesia ke-V. Mendapat kontrak rekaman dari label adalah obsesi yang terlalu muluk saat itu. Jangankan rekaman, demo rekaman bisa diputar di radio saja mereka sudah bahagia.

Saat itu stasiun radio yang rutin mengudarakan musik- musik rock/metal adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya dan Radio SK. Dari beberapa radio tersebut mungkin yang paling legendaris adalah Radio Mustang. Mereka punya program bernama Rock n’ Rhythm yang mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain medium radio, media massa yang kerap mengulas berita- berita rock/metal pada waktu itu hanya majalah HAI, tabloid Citra Musik dan majalah Vista.

Selain hang out di Pid Pub tiap akhir pekan, anak-anak metal ini sehari-harinya nongkrong di pelataran Apotik Retna yang terletak di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang dulu sempat nongkrong bareng (groupies?) anak-anak metal ini antara lain Ayu Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga Krisdayanti. Aktris Ayu Azhari sendiri bahkan sempat dipersunting sebagai istri oleh (alm.) Jodhie Gondokusumo yang merupakan vokalis Getah dan juga mantan vokalis Rotor.

Tak seberapa jauh dari Apotik Retna, lokasi lain yang sering dijadikan lokasi rehearsal adalah Studio One Feel yang merupakan studio latihan paling legendaris dan bisa dibilang hampir semua band- band rock/metal lawas ibukota pernah rutin berlatih di sini. Selain Pid Pub, venue alternatif tempat band-band rock underground
manggung pada masa itu adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café).

Di luar itu, pentas seni MA dan acara musik kampus sering kali pula di-‘infiltrasi’ oleh band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara musik kampus Universitas Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia (Serpong) hingga Universitas Jayabaya (Pulomas).

Berkonsernya dua supergrup metal internasional di Indonesia, Sepultura (1992) dan Metallica (1993) memberi kontribusi cukup besar bagi perkembangan band-band metal sejenis di Indonesia. Tak berapa lama setelah Sepultura sukses ‘membakar’ Jakarta dan Surabaya, band speed metal Roxx merilis album debut self-titled mereka di bawah label Blackboard. Album kaset ini kelak menjadi salah satu album speed metal klasik Indonesia era 90an. Hal yang sama dialami pula oleh Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua hari berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album thrash metal major labelnya yang pertama di Indonesia, “Behind The 8th Ball” (AIRO).

Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka konser Metallica, para personel Rotor (minus drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri Paman Sam untuk mengadu nasib. Sucker Head sendiri tercatat paling telat dalam merilis album debut dibanding band seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal, Aquarius Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album “The Head Sucker”. Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album.

Dari sedemikian panjangnya perjalanan rock underground di tanah air, mungkin baru di paruh pertama dekade 90an lah mulai banyak terbentuk scene-scene underground dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di Jakarta sendiri konsolidasi scene metal secara masif berpusat di Blok M sekitar awal 1995. Kala itu sebagian anak-anak metal sering
terlihat nongkrong di lantai 6 game center Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang out adalah bertukar informasi tentang band-band lokal dan internasional, barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah.

Pada era ini hype musik metal yang masif digandrungi adalah subgenre yang makin ekstrem yaitu death metal, brutal death metal, grindcore, black metal hingga gothic/doom metal. Beberapa band yang makin mengilap namanya di era ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan sebagainya. Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996 malah tercatat sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di Jakarta dengan judul “It’s A Proud To Vomit Him”. Album ini direkam secara profesional di Studio Triple M, Jakarta, dengan sound engineer Harry Widodo (sebelumnya pernah menangani album Roxx, Rotor, Koil, Puppen dan PAS).

Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran fanzine musik underground pertama di Jakarta, Brainwashed Zine. Edisi pertama Brainwashed terbit 24 halaman dengan menampilkan cover Grausig dan profil band Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di komputer berbasis system operasi Windows 3.1 dan lay out cut n’ paste tradisional, Brainwashed kemudian diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi milik saudara penulis sendiri. Di edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band hardcore, punk bahkan ska.

Setelah terbit fotokopian hingga empat edisi, di tahun 1997 Brainwashed sempat dicetak ala majalah profesional dengan cover penuh warna. Hingga tahun 1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis menggagas format e-zine di internet (www.bisik.com). Media-media serupa yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid Noise Zine, Gerilya Zine, Rottrevore Zine, Cosmic Zine dan
sebagainya.

29 September 1996 menandakan dimulainya sebuah era baru bagi perkembangan rock underground di Jakarta. Tepat pada hari itulah digelar acara musik indie untuk pertama kalinya di Poster Café. Acara bernama “Underground Session” ini digelar tiap dua minggu sekali pada malam hari kerja. Café legendaris yang dimiliki rocker gaek Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan membesarkan scene musik indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif.

Lahirnya scene brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era 1997 – 2000 sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa Jakarta dengan Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah, Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Bequiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang `kenyang’ manggung di sana.

10 Maret 1999 adalah hari kematian scene Poster Café untuk selama- lamanya. Pada hari itu untuk terakhir kalinya diadakan acara musik di sana, “Subnormal Revolution”, yang berujung kerusuhan besar antara massa punk dengan warga sekitar hingga berdampak hancurnya beberapa mobil dan unjuk giginya aparat kepolisian dalam membubarkan massa. Bubarnya Poster Café di luar dugaan malah banyak melahirkan venue-venue alternatif bagi masing-masing scene musik indie.

Café Kupu- Kupu di Bulungan sering digunakan scene musik ska, Pondok Indah Waterpark, GM 2000 Café dan Café Gueni di Cikini untuk scene brit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng untuk gigs punk/hardcore dan juga indie pop. Belakangan BB’s Bar yang super-sempit di Menteng sering disewa untuk acara garage rock-new wave-mellow punk juga rock yang kini sedang hot, seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, C’mon Lennon, Killed By Butterfly, Sajama Cut, Devotion dan banyak lagi.

Di antara semuanya, mungkin yang paling netral dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yang terletak di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13 Januari 2002 silam, Puppen menghabisi riwayat mereka dalam sebuah konser bersejarah yang berjudul, “Puppen: Last Show Ever”, sebuah rentetan show akhir band Bandung ini sebelum membubarkan diri.

Scene Punk/Hardcore/Brit/Indie Pop

Invasi musik grunge/alternative dan dirilisnya album Kiss This dari Sex Pistols pada tahun 1992 ternyata cukup menjadi trigger yang ampuh dalam melahirkan band-band baru yang tidak memainkan musik metal. Misalnya saja band Pestol Aer dari komunitas Young Offender yang diawal kiprahnya sering mengcover lagu-lagu Sex Pistols lengkap dengan dress-up punk dan haircut mohawk-nya. Uniknya, pada perjalanan selanjutnya, sekitar tahun 1994, Pestol Aer kemudian mengubah arah musik mereka menjadi band yang mengusung genre british/indie pop ala The Stone Roses.

Konon, peristiwa historik ini kemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi perkembangan scene british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997 mereka sempat merilis album debut bertitel “…Jang Doeloe”. Generasi awal dari scene brit pop ini antara lain adalah Rumahsakit, Wondergel, Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut, Room-V, Parklife dan Death Goes To The Disco.

Pestol Aer memang bukan band punk pertama ibukota. Di tahun 1989 sempat lahir band punk/hardcore pionir Antiseptic yang kerap memainkan nomor-nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI sampai Sex Pistols. Lukman (Waiting Room/The Superglad) dan Robin (Sucker Head/Noxa) adalah alumnus band ini juga. Selain sering manggung di Jakarta, Antiseptic juga sempat manggung di rockfest legendaris Bandung, Hullabaloo II, pada akhir 1994. Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel “Finally” baru rilis delapan tahun kemudian (1997) secara D.I.Y. Ada juga band alternatif seperti Ocean yang memainkan musik ala Jane’s Addiction dan lainnya, sayangnya mereka tidak sempat merilis rekaman.

Selain itu, di awal 1990, Jakarta juga mencetak band punk rock The Idiots yang awalnya sering manggung mengcover lagu-lagu The Exploited. Tidak jauh berbeda dengan Antiseptic, baru sembilan tahun kemudian The Idiots merilis album debut mereka yang bertitel “Living Comfort In Anarchy” via label indie Movement Records. Komunitas-komunitas punk/hardcore juga menjamur di Jakarta pada era 90an tersebut. Selain komunitas Young Offender tadi, ada pula komunitas South Sex (SS) di kawasan Radio Dalam, Subnormal di Kelapa Gading, Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi, Locos di Blok M hingga SID Gank di Rawamangun.

Sementara rilisan klasik dari scene punk/hardcore Jakarta adalah album kompilasi Walk Together, Rock Together (Locos Enterprise) yang rilis awal 1997 dan memuat singel antara lain dari band Youth Against Fascism, Antiseptic, Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Album kompilasi punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One, Still Proud (Movement Records) yang berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots, Cryptical Death hingga Out Of Control.

Scene Bandung

Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka distro (akronim dari distribution store) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya.

Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan”. Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burgerkill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.

Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm.) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta.

Yang mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya, “Self-titled”. Album ini kemudian dibantu promosinya oleh majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya.

Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana: Komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burgerkill dan sebagainya.

Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya, Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.

Kemudian tak lama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan jug lifestyle-nya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya.

Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.

Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di-`baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground.

Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini.

Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burgerkill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar liputannya bagi band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine Bandung, Death Rock Star (www.deathrockstar.tk) untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya!

Scene Jogjakarta

Kota pelajar adalah julukan formalnya, tapi siapa sangka kalau kota ini ternyata juga menjadi salah satu scene rock underground terkuat di Indonesia? Well, mari kita telusuri sedikit sejarahnya. Komunitas metal underground Jogjakarta salah satunya adalah Jogja Corpse Grinder (JCG). Komunitas ini sempat menerbitkan fanzine metal Human Waste, majalah Megaton dan menggelar acara metal legendaris di sana, Jogja Brebeg. Hingga kini acara tersebut sudah terselenggara sepuluh kali! Band-band metal underground lawas dari kota ini antara lain Death Vomit, Mortal Scream, Impurity, Brutal Corpse, Mystis, Ruction.

Untuk scene punk/hardcore/industrial-nya yang bangkit sekitar awal 1997 tersebutlah nama Sabotage, Something Wrong, Noise For Violence, Black Boots, DOM 65, Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank Soekamti. Sedangkan untuk scene indie rock/pop, beberapa nama yang patut di-highlight adalah Seek Six Sick, Bangkutaman, Strawberry’s Pop sampai The Monophones. Selain itu, band ska paling keren yang pernah terlahir di Indonesia, Shaggy Dog, juga berasal dari kota ini.

Shaggy Dog yang kini dikontrak EMI belakangan malah sedang asyik menggelar tur konser keliling Eropa selama 3 bulan! Kota gudeg ini tercatat juga pernah menggelar Parkinsound, sebuah festival musik elektronik yang pertama di Indonesia. Parkinsound #3 yang diselenggarakan tanggal 6 Juli 2001, di antaranya menampilkan Garden Of The Blind, Mock Me Not, Teknoshit, Fucktory, Melancholic Bitch hingga Mesin Jahat.

Scene Surabaya

Scene underground rock di Surabaya bermula dengan semakin tumbuh-berkembangnya band-band independen beraliran death metal/grindcore sekitar pertengahan tahun 1995. Sejarah terbentuknya berawal dari event Surabaya Expo (semacam Jakarta Fair di DKI – Red) dimana band- band underground metal seperti, Slowdeath, Torture, Dry, Venduzor, Bushido manggung di sebuah acara musik di event tersebut.

Setelah event itu, masing-masing band tersebut kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi yang bernama Independen. Base camp dari organisasi yang tujuan dibentuknya sebagai wadah pemersatu serta sarana sosialisasi informasi antar musisi/band underground metal ini waktu itu dipusatkan di daerah Ngagel Mulyo atau tepatnya di studio milik band Retri Beauty (band death metal dengan semua personelnya cewek, kini sudah bubar–Red). Anggota dari organisasi yang merupakan cikal bakal terbentuknya scene underground metal di Surabaya ini memang sengaja dibatasi hanya sekitar 7-10 band saja.

Rencana pertama Independen waktu itu adalah menggelar konser underground rock di Taman Remaja, namun rencana ini ternyata gagal karena kesibukan melakukan konsolidasi di dalam scene. Setelah semakin jelas dan mulai berkembangnya scene underground metal di Surabaya pada akhir bulan Desember 1997 organisasi Independen resmi dibubarkan. Upaya ini dilakukan demi memperluas jaringan agar semakin tidak tersekat-sekat atau menjadi terkotak-kotak komunitasnya.

Pada masa-masa terakhir sebelum bubarnya organisasi Independen, divisi record label mereka tercatat sempat merilis beberapa buah album milik band-band death metal/grindcore Surabaya. Misalnya debut album milik Slowdeath yang bertitel “From Mindless Enthusiasm to Sordid Self-Destruction” (September 1996), debut album Dry berjudul “Under The Veil of Religion” (1997), Brutal Torture “Carnal Abuse”, Wafat “Cemetery of Celerage” hingga debut album milik Fear Inside yang bertitel “Mindestruction”. Tahun-tahun berikutnya barulah underground metal di Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah.

Sebagai ganti Independen kemudian dibentuklah Surabaya Underground Society (S.U.S) tepat di malam tahun baru 1997 di kampus Universitas 45, saat diselenggarakannya event AMUK I. Saat itu di Surabaya juga telah banyak bermunculan band-band baru dengan aliran musik black metal. Salah satu band death metal lama yaitu, Dry, kemudian berpindah konsep musik seiring dengan derasnya pengaruh musik black metal di Surabaya kala itu.

Hanya bertahan kurang lebih beberapa bulan saja, S.U.S di tahun yang sama dilanda perpecahan di dalamnya. Band-band yang beraliran black metal kemudian berpisah untuk membentuk sebuah wadah baru bernama Army of Darkness yang memiliki basis lokasi di daerah Karang Rejo. Berbeda dengan black metal, band-band death metal selanjutnya memutuskan tidak ikut membentuk organisasi baru.

Selanjutnya di bulan September 1997 digelar event AMUK II di IKIP Surabaya. Event ini kemudian mencatat sejarah sendiri sebagai event paling sukses di Surabaya kala itu. Sebanyak 25 band death metal dan black metal tampil sejak pagi hingga sore hari dan ditonton oleh kurang lebih 800 – 1000 orang. Arwah, band black metal asal Bekasi juga turut tampil di even tersebut sebagai band undangan.

Scene ekstrem metal di Surabaya pada masa itu lebih banyak didominasi oleh band-band black metal dibandingkan band death metal/grindcore. Mereka juga lebih intens dalam menggelar event-event musik black metal karena banyaknya jumlah band black metal yang muncul. Tercatat kemudian event black metal yang sukses digelar di Surabaya seperti Army of DarknessI dan II.

Tepat tanggal 1 Juni 1997 dibentuklah komunitas underground Inferno 178 yang markasnya terletak di daerah Dharma Husada (Jl. Prof. DR. Moestopo-Red). Di tempat yang agak mirip dengan rumah-toko (ruko) ini tercatat ada beberapa divisi usaha yaitu, distro, studio musik, indie label, fanzine, warnet dan event organizer untuk acara-acara underground di Surabaya. Event-event yang pernah di gelar oleh Inferno 178 antara lain adalah, Stop The Madness, Tegangan Tinggi I & II, hingga Bluekhutuq Live.

Band-band underground rock yang kini bernaung di bawah bendera Inferno 178 antara lain, Slowdeath, The Sinners, Severe Carnage, System Sucks, Freecell, Bluekuthuq dan sebagainya. Fanzine metal asal komunitas Inferno 178, Surabaya bernama Post Mangled, pertama kali terbit kala itu di event Tegangan Tinggi I di kampus Universitas Airlangga dengan tampilnya band-band punk rock dan metal.

Acara ini tergolong kurang sukses karena pada waktu yang bersamaan juga digelar sebuah event black metal. Sayangnya, hal ini juga diikuti dengan mandegnya proses penggarapan Post Mangled Zine yang tidak kunjung mengeluarkan edisi terbarunya hingga kini.

Maka, untuk mengantisipasi terjadinya stagnansi atau kesenjangan informasi di dalam scene, lahirlah kemudian Garis Keras Newsletter yang terbit pertama kali bulan Februari 1999. Newsletter dengan format fotokopian yang memiliki jumlah 4 halaman itu banyak mengulas berbagai aktivitas musik underground metal, punk hingga HC tak hanya di Surabaya saja, tetapi lebih luas lagi. Respons positif pun menurut mereka lebih banyak datang justru dari luar kota Surabaya itu sendiri.

Entah mengapa, menurut mereka publik underground rock di Surabaya kurang apresiatif dan minim dukungannya terhadap publikasi independen macam fanzine atau newsletter tersebut. Hingga akhir hayatnya Garis Keras Newsletter telah menerbitkan edisinya hingga ke-12.

Divisi indie label dari Inferno 178 paling tidak hingga sekitar 10 rilisan album masih tetap menggunakan nama Independen sebagai nama label mereka. Baru memasuki tahun 2000 yang lalu label Inferno 178 Productions resmi memproduksi album band punk tertua di Surabaya, The Sinners yang berjudul “Ajang Kebencian”.

Selanjutnya label Inferno 178 ini akan lebih berkonsentrasi untuk merilis produk-produk berkategori non-metal. Sedangkan untuk label khusus death metal/brutal death/grindcore dibentuklah kemudian Bloody Pigs Records oleh Samir (kini gitaris Tengkorak) dengan album kedua Slowdeath yang bertitel “Propaganda” sebagai proyek pertamanya yang dibarengi pula dengan menggelar konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower sekitar bulan September 2000 yang dihadiri oleh 150-an penonton. Album ini sempat mencatat sold out walau masih dalam jumlah terbatas saja. Ludes 200 keping tanpa sisa.

Scene Malang

Kota berhawa dingin yang ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Surabaya ini ternyata memiliki scene rock underground yang ‘panas’ sejak awal dekade 90-an. Tersebutlah nama Total Suffer Community (T.S.C) yang menjadi motor penggerak bagi kebangkitan komunitas rock underground di Malang sejak awal 1995. Anggota komunitas ini terdiri dari berbagai macam musisi lintas-scene, namun dominasinya tetap saja anak-anak metal. Konser rock underground yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini.

Acara bertajuk “Parade Musik Underground” tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal), Sekarat (death metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrial death metal), No Man’s Land (punk), The Babies (punk) dan juga band-band asal Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The Sinners (punk).

Beberapa band Malang lainnya yang patut diberi kredit antara lain Keramat, Perish, Genital Giblets, Santhet dan tentunya Rotten Corpse. Band yang terakhir disebut malah menjadi pelopor style brutal death metal di Indonesia. Album debut mereka yang bertitel “Maggot Sickness” saat itu menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Bali karena komposisinya yang solid dan kualitas rekamannya yang top notch.

Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di Indonesia. Namanya Mindblast zine yang diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan Samack pada akhir 1995. Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kini eksis di band crust-grind gawat, Extreme Decay. Sementara indie label pionir yang hingga kini masih bertahan serta tetap produktif merilis album di Malang adalah Confused Records.

Scene Bali

Berbicara scene underground di Bali kembali kita akan menemukan komunitas metal sebagai pelopornya. Penggerak awalnya adalah komunitas 1921 Bali Corpse Grinder di Denpasar. Ikut eksis di dalamnya antara lain, Dede Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner dan Sabdo Moelyo. Dede adalah editor majalah metal Megaton yang terbit di Jogjakarta, Putra Pande adalah salah satu pionir webzine metal Indonesia Corpsegrinder (kini Anorexia Orgasm) sejak 1998, Age adalah pengusaha distro yang pertama di Bali dan Moel adalah gitaris/vokalis band death metal etnik, Eternal Madness yang aktif menggelar konser underground di sana. Nama 1921 sebenarnya diambil dari durasi siaran program musik metal mingguan di Radio Cassanova, Bali yang berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00 WITA.

Awal 1996 komunitas ini pecah dan masing-masing individunya jalan sendiri-sendiri. Moel bersama EM Enterprise pada tanggal 20 Oktober 1996 menggelar konser underground besar pertama di Bali bernama Total Uyut di GOR Ngurah Rai, Denpasar. Band-band Bali yang tampil diantaranya Eternal Madness, Superman Is Dead, Pokoke, Lithium, Triple Punk, Phobia, Asmodius hingga Death Chorus. Sementara band- band luar Bali adalah Grausig, Betrayer (Jakarta), Jasad, Dajjal, Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan Death Vomit (Jogjakarta).

Konser ini sukses menyedot sekitar 2000 orang penonton dan hingga sekarang menjadi festival rock underground tahunan di sana. Salah satu alumni Total Uyut yang sekarang sukses besar ke seantero nusantara adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead (SID). Mereka malah menjadi band punk pertama di Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony Music Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang stand out di antaranya adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes dan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album ke tiga mereka dalam waktu dekat (tidak diketahui pertama kali catatan ini terbit-Red).

Memasuki era 2000-an scene indie Bali semakin menggeliat. Kesuksesan SID memberi inspirasi bagi band-band Bali lainnya untuk berusaha lebih keras lagi, toh SID secara konkret sudah membuktikan kalau band `putera daerah’ pun sanggup menaklukan kejamnya industri musik ibukota. Untuk mendukung band-band Bali, drummer SID, Jerinx dan beberapa kawannya kemudian membuka The Maximmum Rock N’ Roll Monarchy (The Max), sebuah pub musik yang berada di jalan Poppies, Kuta. Seringkali diadakan acara rock reguler di tempat ini.

Indie Indonesia Era 2000-an

Bagaimana pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an? Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam. Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan.

Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom`indie’ dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non-mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasik mengenai istilah `indie’ atau ‘underground’ ini di tanah air. Sebagian orang memandang istilah `underground’ semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang ‘sell-out’, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping.

Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom ‘indie’ karena lebih elastis dan, misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi.

Di tengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai-ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi `panglima’ sekarang ini.

…And history is still in the making here…..

 

Sumber: andrias-secangkirkopipagi.blogspot.co.id

Menakar Resistensi Kultural Dalam Musik

Oleh Idhar Resmadi

Sekitar dua tahun lalu, sebuah konser bertajuk Brutalize in Darkness yang diselenggarakan di Bogor, Jawa Barat, sempat jadi buah bibir di media sosial. Acara yang diorganisir oleh Ki Gendeng Pamungkas ini diramaikan oleh band-band Metal yang sudah tidak asing lagi, seperti band Black Metal asal Norwegia, Gorgoroth, dan band Death Metal asal Belanda, Disavowed. Jagoan-jagoan lokal yang kerap tampil di kancah Metal dalam negeri seperti Burgerkill, Down For Life, hingga Dajjal pun turut meramaikan helatan tersebut.

Namun, kontroversi dimulai ketika Ki Gendeng Pamungkas tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bernada rasis terhadap etnis Tionghoa. Politikus sekaligus paranormal itu dianggap menyebarkan hasutan dan kebencian. Imbasnya, Burgerkill dan Down For Life mundur dari acara tersebut. Bahkan, Burgerkill menulis pernyataan melalui akun Twitter resmi mereka: “Maaf kami tidak bisa ikut dengan pergerakan anti-ras tertentu. Metal yang kami percaya adalah musik yang tidak peduli ras dan latar belakang penggemarnya”. Sedangkan dalam akun Twitter-nya, band Down For Life menulis: “Kami memutuskan MUNDUR dari acara Brutalize in The Darkness di Bogor tanggal 10 Mei 2015 sampai ada klarifikasi dari panitia tentang propaganda rasisme”.

Dalam kasus ini, Pamungkas memakai musik Metal untuk menyuarakan ideologi nasionalisnya – walau tentu saja nasionalis salah kaprah – dan menyebar kebencian terhadap etnis tertentu yang menurutnya mengancam “Pribumi”. Upaya yang dilakukan oleh Ki Gendeng Pamungkas mengingatkan saya bahwa musik tak pernah sekadar menjadi komoditas ekonomi. Sepanjang perjalanannya, musik telah menjadi arena pertarungan atau kontestasi dalam bentuk politik dan ideologi. Sebagai medium kebudayaan yang populer dan memiliki daya tarik luar biasa, mustahil untuk tidak melihat potensi ini di musik.

Di Indonesia, seruan yang menautkan sentimen etnis dengan agama memang bukan hal baru. Sebelum insiden Pamungkas, pada tahun 2010 lalu muncul komunitas Metal Satu Jari yang dikomandoi oleh Ombat, vokalis dari grup Tengkorak. Komunitas ini membaurkan simbol-simbol agama ke dalam praktik musik Metal – misalnya, tanda devil horns yang diganti dengan lambang salam satu jari (dianggap merepresentasikan ke-Esaan Tuhan), serta lirik-lirik yang bernafaskan semangat Anti-Zionisme.

Akhirnya, pertanyaan lebih jauh kemudian muncul. Kenapa musik memiliki kaitan erat dengan ideologi, dan justru menjadi roda fasisme baru lewat sentimen berbau agama dan suku/etnis?

Beberapa tahun terakhir, musik selalu hadir sebagai suatu arena kontestasi ideologi yang diskursif, dan mulai rajin menyentuh isu-isu agama, etnis, dan spiritualitas – terutama di kancah musik Metal dan Punk. Kita bisa melihat bagaimana perkembangan atau dinamika musik lokal melahirkan praktik-praktik estetika yang bersifat hibrid. Mulai dari Metal Kasundaan, Punk Islam, Black Metal Kejawen, Hip Hop Jawa, hingga Metal Islam.

Di satu sisi, kita bisa memandang ini sebagai bentuk eksplorasi atau inovasi musikal. Namun, di sisi lain kita bisa melihat hal ini sebagai resistensi identitas yang justru meruncingkan semangat chauvinisme dan kebencian terhadap suku atau etnis tertentu.

Dalam konteks budaya populer, hal-hal yang bersifat hibrida seperti ini memang tidak aneh, terutama setelah kita memasuki era globalisasi yang justru berdampak pada terjadinya penyeragaman budaya. Malah, proses-proses diskursif inilah yang mendefinisikan identitas sebagai sesuatu yang cair, dinamis, dan tidak pernah ajeg.

Deleuze dan Guattari melihat kebudayaan sebagai rhizome, yang di dalamnya setiap unsur berhubungan – berinteraksi, berdialog, bersintesis, dan berkontestasi satu dengan yang lainnya. Budaya yang terbangun berdasarkan prinsip ini adalah budaya yang tidak berhenti menghubungkan rantai semiotik, tanda, simbol, makna, pengetahuan, dan kode-kode budayanya dengan kebudayan lain, dalam rangka menciptakan makna, pengetahuan, dan relasi sosial yang baru. Singkat kata, ia adalah kebudayaan yang tidak pernah berhenti berproses.

Oleh karena itu, tidak mengejutkan bahwa musik Metal – sebagai bentuk kebudayaan – terbentuk dari berbagai kontestasi yang terjadi di masyarakat yang melahirkannya, termasuk persoalan etnis dan agama. Jika konteks lokal ditelaah lebih jauh, sejarah musik Metal di Indonesia tentu berkelindan erat dengan kapitalisme global yang hadir di Indonesia, dan merekonstruksi gaya hidup dan nilai anak muda yang tumbuh besar mendengarkan musik Metal. Dengan memandang musik sebagai bentuk budaya, maka musik populer sesungguhnya bisa berfungsi sebagai media untuk membangun makna, dan karena itulah ia menjadi medan pertarungan hegemoni dan resistensi (Ibrahim, 2011: 49).

Resistensi Kultural

Resistensi kultural adalah kesadaran dan kemampuan individu untuk mengartikulasikan makna-makna alternatif terhadap konstruksi kelompok dominan. Resistensi ini juga menekankan kekuatan wacana dan simbol untuk mengorganisir dan mengaktifkan identitas kolektif, dan mewujud melalui jalan perubahan performatif seperti teater protes, lagu-lagu perlawanan, dan tarian perlawanan. (Boal, 1985, 1998; Chaterjee, 204, Hashmi, 2007, dalam Ibrahim, 2011: 47) Perlawanan beragam rupa ini tidak pernah jauh dari gagasan tentang kekuasaan, ketidakadilan, dan perubahan sosial.

Tentu, kita perlu membedakan musik dari ranah populer dan industri yang cenderung berorientasi pasar dan diproduksi massal, dengan musik subkultural yang lebih ‘bawah tanah’, resisten dan ideologis. Dalam musik independen di ranah subkultur, resistensi kultural berujung pada perlawanan terhadap institusi kekuasaan yang mapan dan dominan di masyarakat – yaitu negara, agama, dan kapitalisme global. Musik subkultural kemudian memosisikan diri sebagai subordinat yang ‘melawan’ kemapanan tersebut melalui beragam makna, simbol, dan tanda sebagai bentuk ekspresinya. Punk dan Hardcore, misalnya, muncul sebagai katarsis bagi para pemuda galau yang resah dengan kebijakan negara di Amerika Serikat dan Inggris yang neo-liberal dan meminggirkan kelas pekerja.

Selain negara dan kapitalisme global, resistensi kultural yang terjadi di musik juga memunculkan relasi berbeda antara musik subkultural dengan wacana agama. Musik Black Metal di Norwegia, misalnya, muncul sebagai bentuk resistensi terhadap kemapanan wacana agama Kristen. Tak hanya melalui lirik dan musik, perlawanan kancah Black Metal mewujud dalam tindakan nyata seperti pembakaran gereja-gereja yang menyebabkan ditangkapnya Varg Vikernes, vokalis grup Black Metal legendaris Burzum. Maka, musik muncul sebagai salah satu wadah untuk kontestasi dan komodifikasi ideologi.

Alasan untuk munculnya kantung-kantung kecil perlawanan ini sebetulnya sederhana. Ketika negara, agama, dan kapitalisme global yang masuk melalui budaya populer dianggap tidak memuaskan lagi oleh penikmat musik, mereka mencari simbol dan tatanan nilai baru melalui bentuk kebudayaan yang lebih hibrid. Hibriditas ini pun tidak mentok pada eksplorasi di ranah musikal, namun juga merambah ke tataran nilai dan simbol.

Menalar dan Menakar Indonesia

Persoalan serupa terjadi pula di Indonesia. Penikmatan mereka terhadap musik Metal – yang tentu saja adalah produk ‘Barat’ – berjalan seiring dengan ketidakpuasan mereka terhadap nilai-nilai yang dibawa oleh budaya Barat. Kemunculan praktik musik yang hibrid seperti Metal Islam, Black Metal Kejawen, Metal Sunda dan kawan-kawannya lahir dari kegamangan ini. Musik Metal yang dibawa oleh kapitalisme global dinilai tak ‘berbicara’ pada identitas mereka, dan tak mampu memberi pemaknaan yang memuaskan terhadap identitas serta kehidupan mereka sehari-hari.

Resistensi pun muncul, musik Metal dimodifikasi, dan mereka mulai mencari sesuatu yang bisa dijadikan “pegangan” nilai berikutnya. Yang jadi menarik adalah, sekalipun mereka telah menemukan pegangan nilai baru, mereka tetap mengekspresikan nilai-nilai tersebut melalui musik Metal.

Telaah terhadap hal-hal yang berbau etnik dan tradisional, misalnya, bisa kita baca sebagai resistensi yang lahir dari ketidakpuasan terhadap “homogenisasi” budaya yang dibawa oleh kapitalisme global. Sedangkan, simbol-simbol agama digunakan oleh komunitas Metal Satu Jari untuk melawan wacana Zionisme dan Kapitalisme yang – menurut hemat mereka – banyak merusak akhlak dan moral anak muda di Indonesia. Wacana ini mereka lawan dengan nilai-nilai Islam yang mereka syi’arkan (lagi-lagi) melalui musik Metal.

Merujuk pada pernyataan Mark Levine dalam buku Heavy Metal Islam (2008), pengalaman umat Islam saat ini terkait erat dengan kulturalisasi politik dan ekonomi sebagai momen yang menegaskan terjadinya globalisasi. Umat Islam saat ini melihat kehadiran globalisasi – atau dalam konteks ini, “Westernisasi” – dalam bidang politik, ekonomi, gaya hidup, dan budaya sebagai bentuk ghazwul fikri atau perang pemikiran. Di Indonesia, komunitas Islam di Indonesia mendapuk wacana abstrak “Westernisasi” sebagai musuh bersama yang patut diruntuhkan. Menariknya, wacana Barat ini justru mereka lawan dengan simbol kultural Metal, yang masuk ke Indonesia gara-gara “Westernisasi” itu sendiri.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa gerakan ini paradoksikal. Namun, di sisi lain, kita tak bisa menyangkal bahwa mereka mulai menemukan momentum dan mengakar di kalangan anak muda. Terlepas dari mundurnya Down for Life dan Burgerkill – dua nama besar di kancah Metal – dari konser Brutalize in Darkness, faktanya konser tersebut tetap berlangsung, dan Disavowed, legenda Death Metal dari Belanda, tetap datang dan tampil. Penonton pun didominasi oleh anak muda, yang entah tidak peduli, tidak tahu, atau – dan ini skenario terburuk – justru mengamini sentimen rasis yang digaungkan oleh Ki Gendeng Pamungkas. Upaya melakukan wacana tandingan pun dilakukan Wendi Putranto, seorang jurnalis musik, dengan membuat gelaran bertajuk “Metal Untuk Semua”. Gerakan ini seolah berusaha ‘menandingi’ wacana komunitas Metal Satu Jari, yang dinilai berpotensi memunculkan kembali sentimen fasisme.

Pada praktiknya, di tengah era globalisasi di mana sistem nilai menjadi beragam, selalu akan terjadi pertarungan atau kontestasi ideologi yang menjadikan musik sebagai kendaraan. Walau hanya terjadi di komunitas-komunitas yang terbilang ‘kecil’ dan tidak masuk radar arus utama, sejatinya perlawanan yang mewujud melalui Metal Satu Jari, Brutalize in Darkness, hingga Black Metal Kejawen adalah gejala sekaligus cermin dari perubahan lebih besar yang terjadi di masyarakat. Bahwa kita adalah bangsa yang tengah gamang – mengelu-elukan sekaligus mempersoalkan perubahan kultural yang seolah-olah terus ‘menyerang’ identitas budaya, agama, dan negara kita.

 


Tentang Penulis

Idhar Resmadi adalah dosen dan penulis. Bisa dikunjungi di alamat: www.idhar-resmadi.net

 


Bacaan

Pilliang, Yasraf Amir. 2011. “Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan.” Penerbit Matahari: Bandung

Ibrahim, Idy Subandi. 2011. “Aku Bernyanyi Menjadi Saksi: Hidup, Gitar, dan Perlawanan dalam Balada Musik Iwan Fals.” Penerbit Fiskontak: Bandung dan Jakarta

http://inpasonline.com/new/respon-umat-islam-terhadap-globalisasi/

http://www.punkjews.com/

https://tirto.id/ki-gendeng-dan-rasialisme-di-kancah-musik-metal-indonesia-couf

https://ruang.gramedia.com/read/1496924812-the-taqwacores-dan-islam-yang-resah

 

Sumber: Ruang Gramedia